Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Persidangan, Terungkap Penetapan HET Diduga Sebabkan Kelangkaan Minyak Goreng

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Jumat, 21 Oktober 2022, 15:31 WIB
Di Persidangan, Terungkap Penetapan HET Diduga Sebabkan Kelangkaan Minyak Goreng
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/10)/RMOL
rmol news logo Kelangkaan minyak goreng (migor) di masyarakat diduga karena pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Karena, setelah HET dicabut, migor kembali membanjiri pasar-pasar masyarakat.

Hal itu disampaikan oleh Penasehat Hukum terdakwa Master Parulian Tumanggor, Juniver Girsang usai sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/10).

Dalam sidang lanjutan itu, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi, yakni pegawai di Direktorat Statistik Harga Badan Pusat Statistik (BPS), Wiji Tri Wilujeng.

Dalam kesaksiannya, Wiji mengatakan, harga minyak CPO internasional bisa diakses di World Bank, akan tetapi BPS tidak mengukur harga CPO. Wiji menyebut, harga minyak goreng pada Januari dan Februari mengalami deflasi atau penurunan harga sebesar 9,17 persen.

"Februari iya (deflasi), Maret-April inflasi, dan Januari inflasi, pada Januari inflasi 0,84 persen," ujarnya dalam sidang.

Wiji menerangkan, tidak ada standar untuk mengkategorikan inflasi 0,8 persen itu termasuk tinggi atau rendah.

"Tapi itu kalau dari sisi pengambilan kebijakan itu biasanya pemerintah menetapkan asumsi inflasi tinggi rendah itu sekitar 3 persen pemerintah secara umum tapi ya, YoY (year on year) alias inflasi tahunan, kalau yang saya sampaikan barusan adalah inflasi bulanan," katanya.

Karena kata Wiji, pemerintah tidak pernah memberikan asumsi inflasi month to month, akan tetapi YoY.

"Dapat saya sampaikan YoY-nya untuk YoY nasional Januari di 33,78 persen, Februari 21,62 persen, Maret 25,83 persen, itu jika dibandingkan 2022 terhadap 2021," terangnya dia.

Bahkan kata Wiji, pihak BPS juga tidak pernah menetapkan inflasi setiap bulan berada di angka kecil atau tida, serta tidak pernah mengasumsikan kecil atau besar.

"Tapi ini segini bulan Januari sekian misalnya 0,56 berarti kontribusi migor 0,01 berarti 0,55 dari komoditas lain seperti itu kami tidak pernah judge inflasi kita kecil atau rendah. Kalau ada yang bilang inflasi kecil itu bukan dari kami," katanya.

Usai mendengarkan kesaksian Wiji itu, Juniver selaku penasihat hukum terdakwa Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris Wilmar Nabati mengatakan, berdasarkan kesaksian Wiji, menunjukkan bahwa mulai November harga minyak goreng sudah mencapai Rp 17.600 dan BPS juga membenarkan.

"Kenyataannya saat itu tidak langka, namun begitu ditetapkan pemerintah dengan Permendag 6/2022 HET, langsung minyak goreng langka. Karena apa? di masyarakat mulai terjadi penimbunan  untuk mencari keuntungan, dan spekulan-spekulan. Kemudian pada Maret, HET dicabut, Permendag nomor 6 dicabut, langsung membanjiri pasar," kata Juniver.

Menurut Juniver, dapat disimpulkan kelangkaan minyak goreng diakibatkan karena pemerintah menetapkan HET, bukan karena produsen yang melakukan ekspor berlebihan.

"Saksi dari PT POS juga tidak menyebut ada kerugian negara, saksi itu bilang BLT itu program pemerintah untuk sembako, termasuk salah satunya migor. Program itu ditetapkan Mensos dalam DIPA sejak 2021," ujar Juniver.

Juniver menilai, tidak ada kerugian negara yang terjadi, karena kebijakan tersebut adalah kewajiban pemerintah untuk menanggulangi permasalahan di masyarakat.

Selain itu, Juniver juga menanggapi kesaksian dari pihak BPS, ketika Jaksa menyebut minyak goreng menyebabkan inflasi. Padahal kata Juniver, sejak Januari-Maret, inflasi signifikan dan tidak mengganggu perekonomian dan sehat.

"Jaksa bilang terganggu, ternyata data BPS hanya 0,19 persen, seharusnya 1,29 berarti kan digitnya dibawah. Malah harga komoditas lain yang membuat situasi tidak normal," terangnya.

Juniver juga menilai, devisa dari ekspor minyak goreng tinggi diakibatkan harga minyak goreng di luar negeri juga mengalami kenaikan.

"Jadi walau jumlahnya sedikit yang diekspor, tapi lebih tinggi nominalnya dari sebelumnya. Kalau data BPS, tidak monoton (inflasi) diambil dari minyak goreng, ada komoditas lain, ada beras, ada ayam, disebut sembako ada 9 bahan pokok, garam, terigu, kebutuhan lain, sayang saja saya tidak lemparin (datanya). Bukan kewenangan saya, BPS yang paparin datanya, diagramnya," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA