Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menerapkan pertama kali kebijakan itu mengatakan, inovasi kebijakan yang dibuatnya itu berdasarkan keresahannya atas stigma masyarakat terhadap kejaksaan.
“Pada waktu sebelum saya masuk kembali ke Kejaksaan, ada satu hal yang menggelitik saya, bahwa di masyarakat ada yang berpendapat bahwa hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas,†ujar Burhanuddin dalam keterangannya, Selasa (27/9).
Demi memutus stigma, ST Burhanuddin bersama jajaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum berdikusi untuk mengubah pandangan tersebut. Dia tidak ingin kasus yang menimpa nenek Minah terulang.
Saat itu, kasus Nenek yang berusia 55 tahun dari Banyumas, Jawa Tengah, menjadi contoh dalam diskusi Burhanuddin. Nenek harus dihukum penjara 1 bulan 15 hari, dengan masa percobaan 3 bulan, karena dianggap mencuri 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan.
“Saya coba dengan teman-teman di Pidana Umum bicara, bagaimana sih mengubah image ini (hukum tajam ke bawah) sehingga tidak ada lagi perkara Nenek Minah,†terangnya.
Burhanuddin merasa terenyuh dengan kasus tersebut. Karenanya, penerapan keadilan restoratif menjadi salah satu cara untuk memutus stigma negatif terkait penegakan hukum.
“Ada hal-hal yang betul-betul menyentuh dan bertentangan dengan rasa keadilan di masyarakat,†pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: