Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Firli Bahuri Bongkar 7 Titik Rawan Korupsi di Hadapan Kepala Daerah Se-Indonesia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/idham-anhari-1'>IDHAM ANHARI</a>
LAPORAN: IDHAM ANHARI
  • Selasa, 25 Januari 2022, 19:48 WIB
Firli Bahuri Bongkar 7 Titik Rawan Korupsi di Hadapan Kepala Daerah Se-Indonesia
Ketua KPK Firli Bahuri saat rapat kerja bersama Mendagri dan Kepala LKPP beserta kepala daerah se-Indonesia/Ist
rmol news logo Saat rapat kerja bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Kepala LKPP Abdullah Azwar Anas serta kepala daerah dan ketua DPRD Kabupaten/Kota se-Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri membeberakan titik-titik rawan korupsi.

“Setidaknya, terdapat tujuh yang menjadi titik rawan korupsi,” kata Firli kepada wartawan di Jakarta, Selasa (25/1).

Firli membeberkan, tujuh titik rawan korupsi ini antara lain, dapat terjadi di wilayah reformasi birokrasi, rekrutmen dan promosi jabatan. Kemudian, yang kedua, pengadaan barang dan jasa.

Disini, kata Firli, kerap terjadi kolusi dengan penyedia, melakukan markup harga, kickback dan terjadinya benturan kepentingan dalam pengadaan serta adanya kecurangan.

Lalu ketiga, filantropi atau sumbangan pihak ketiga. Dari sini kerap ditemukan tidak singkronnya pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan dan penyelewengan bantuan.

“Keempat, recofusing dan realokasi anggaran Covid-19 untuk APBN dan APBD,” jelas Firli.

Lalu titik rawan korupsi selanjutnya ialah penyelenggaraan jaring pengaman sosial atau sosial safety net untuk pemerintah pusat dan daerah. Hal ini kerap terjadi tindak pidana korupsi karena gagalnya pendataan penerima lalu klarifikasi dan validasi data kemudian belanja barang, hingga distribusi bantuan dan pengawasan.

“Juga tidak tepat sasarannya pemulihan ekonomi nasional, pemberian liquiditas bantuan tidak tepat sasaran,” ungkap Firli.

Dan yang terakhir, kata Firli pada pengesahan RAPBD dan laporan pertanggungjawaban keuangan kepala daerah (LPJKD).

Hal ini, juga berkaitan erat dengan survei internal KPK dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2015, 2017 dan 2018. Dimana, kata Firli, pada Pilkada tahun 2017, 82,3 persen kepala daerah yang maju dibiayai oleh sponsor.

“Karena ada gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta,” kata Firli.

Akibat dari itu, para kepala daerah menjadi tersandra. Sebab, para penyandang dana atau sponsor ini mengharapkan sejumlah hal.

Pertama, para donatur menginginkan kemudahan perijinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan. Keinginan agar perijinan lebih mudah angkanya tiap tahun terus meningkat, 63,9 persen (2015), 75,0 persen (2017) dan 95,4 persen (2018).

Lalu diberi kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintah (pengadaan barang dan jasa). 64,6 persen (2015), 73,3 persen (2017) dan 90,7 persen (2018).

Selanjutnya, para donatur juga menginginkan kepala daerah yang telah dibiayai agar memberikan keamanan saat menjalankan bisnis yang sudah berjalan. 61,5 persen (2015), 76,7 persen (2017) dan 84,8 persen (2018).

Kemudian, donatur atau sponsor ingin diberi kemudahan terhadap akses untuk menjabat di pemerintahan daerah maupun BUMD. Hasilnya, 60,1 persen (2015), 56,81 persen (2017) dan 81,5 persen (2018).

Selanjutnya, kemudahan akses dalam menentukan kebijakan atau peraturan daerah. 49,3 persen (2015), 42,7 persen (2017) dan 72,2 persen (2018). Dan menginginkan agar dapat prioritas bantuan langsung. 51,5 persen (2015), 22,7 persen (2017) dan 62,3 persen.

Kenginginan yang lain berasarkan survei internal KPK ialah mendapatkan prioritas dana bantuan sosial atau hibah yang bersumber dari APBD. yang paling tinggi di tahun 2018 dengan nilai 56,3 persen.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA