"Hakim keliru menerapkan hukum dan tidak berusaha melakukan terobosan. Padahal pertimbangan jelas, fakta hukum, keadaan, dan alat bukti memberatkan terdakwa. Tapi kok amar putusannya pidana nihil?" kata Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (19/1).
Azmi berpandangan, majelis hakim membatasi jangkauan hukum dan menyempitkan pemaknaan hukum, serta tidak menyentuh dampak bahaya korupsi.
Semestinya, kata dia, hakim melihat korupsi yang dilakukan terdakwa sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Korupsi juga sebagai tindak pidana khusus yang berbeda penerapannya dengan pidana umum.
Apalagi mengingat keadaan korupsi di Indonesia sudah menjadi keadaan darurat dan harus diberantas. Sehingga, kata dia, semestinya dalam keadaan yang darurat memperbolehkan hakim apa yang tadinya tidak diperkenankan oleh hukum, dalam hal ini menyimpangi Pasal 67 KUHP guna menegakkan hukum itu sendiri dan rasa keadilan.
"Termasuk dalam hukum pidana akan melihat unsur kesalahan berdasarkan kasus per kasus (
animus and se one just ducit). Jadi di sini semestinya ada ruang dan dasar hukum bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum," sambungnya.
Namun karena tidak ada terobosan yang dilakukan, maka putusan vonis terhadap Heru Hidayat menjadi hampa. Padahal, perbuatan terdakwa dinyatakan Majelis Hakim terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Vonis ini jelas penyimpangan. Sungguh putusan hakim dalam kasus Heru Hidayat berpotensi merusak masa depan penegakan hukum pidana," tutupnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.