Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rekomendasinya Pernah Dicabut di Pilkada 2020, Mantan Terpidana Narkoba Gugat Syarat Calon Kada

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Jumat, 14 Januari 2022, 11:35 WIB
Rekomendasinya Pernah Dicabut di Pilkada 2020, Mantan Terpidana Narkoba Gugat Syarat Calon Kada
Gedung Mahkamah Konstitusi/Net
rmol news logo Peraturan tentang syarat pencalonan kepala daerah (kada) dalam UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) digugat mantan terpidana kasus narkoba.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dia adalah Hardizal, yang pernah menjadi bakal calon kepala daerah Kota Sungai Penuh pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak tahun 2020.

Hardizal menguji Pasal 7 ayat (2) huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I UU Pilkada terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan Hardizal teregistrasi sebagai perkara Nomor 2/PUU-XX/2022, yang disidangkan MK di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (13/1), dengan agenda sidang pendahuluan.

Dalam permohonannya, Hardizal merasa dihalangi hak konstitusionalnya untuk menjadi calon kepala daerah dengan adanya pasal-pasal di UU Pilkada yang dia uji tersebut.

Harli selaku kuasa hukum Hardizal menjelaskan, berlakunya Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menghalangi hak konstitusi Pemohon untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) yakni hak memilih dan hak dipilih (hak aktif dan hak pasif).

Dalam konteks ini, Harli memaparkan bahwa pemohon berkaca pada pengalamannya di Pilkada Serentak 2020 yang lalu. Di mana, Hardizal yang mulanya mendapat surat mandat sebagai bakal calon wakil walikota Sungai Penuh dari Partai PDI Perjuangan, PPP, dan Partai Berkarya harus pupus.

Sebabnya, pada akhir masa pendaftaran pilkada tahun 2020 Partai Berkarya mencabut rekomendasinya dengan alasan pemohon memiliki catatan kriminal sebagai pengguna narkoba yang didasarkan pada SKCK.

Harli mengatakan, dengan adanya Pembatalan Surat Rekomendasi dari Partai Berkarya, maka PDIP dan PPP juga mengalihkan rekomendasi persetujuannya ke pasangan walikota Sungai Penuh yang lain.

"Hak aktif sebagai calon dihilangkan dengan berlakunya ketentuan tersebut," tutur Harli dikutip redaksi dari laman mkri.id pada Jumat (14/1).

Menurut Harli, ketentuan Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I seharusnya diberlakukan secara akumulatif kepada orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang sudah diadili dan dihukum.

Pasalnya, pada Pilkada Serentak 2020 kemarin pihaknya melihat ada calon yang sudah pernah menjalani tindak pidana korupsi namun masih bisa mencalonkan diri, alias lolos sebagai calon kepala daerah.

"Sementara pelaku tindak pidana penggunaan narkoba dihalangi seumur hidup haknya dengan kata lain tidak bisa hanya dengan keterangan SKCK," katanya.

Maka dari itu, Harli menyatakan bahwa pihaknya memohonkan kepada Hakim Konstitusi untuk mengabulkan permohonannya agar hak terpidana narkoba diberlakukan sama dengan pelaku pidana korupsi.

Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan pembentukan rumusan Norma Pasal 7 ayat (2) huruf i dan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada yang menyatakan Perbuatan tercela sebagai salah satu prasyarat akumulatif dalam pencalonan kepala daerah, tidak sejalan atau tidak konsisten dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

Harli menambahkan, pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan seseorang yang telah menjalani hukuman pemidanaan juga menjadi tujuan sistem pemasyarakatan berdasarkan UU Pemasyarakatan.

Dia menilai, lingkup perbuatan tercela yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i tersebut terlalu luas, secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk.

Pertama, perbuatan tercela yang diatur KUHP Pidana dan Pidana Khusus, Pertanggungjawaban Pidana dapat dilakukan dengan dua aspek penting, dilakukan dengan prosedur (formil) dan materiil (substantif).

Kedua, perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, yang tidak jelas dasar hukumnya. Sehingga luasnya perbuatan tercela dan tidak memberikan para pihak membela diri dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, memiliki implikasi ketidakpastian hukum terhadap warga negara.

Terkait perkara ini, Hakim Konstitusi memberikan nasihat kepada pihak Pemohon. Yakni, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon untuk mempelajari Putusan MK Nomor 99/PUU-XVI/2018 tentang perbuatan tercela yang berkaitan dengan pemakai narkotika yang terdapat dalam pertimbangan hukumnya.

Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meminta Pemohon untuk memuat norma yang diuji.

"Karena biar bagaimana pun kita harus melihat normanya dulu baru kita bisa menguraikan apakah punya kewenangan ataupun kerugian konstitusional," demikian Manahan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA