Disebutkan, kerugian negara di kasus Asabri harus kerugian nyata dan pasti, tidak boleh potensial kerugian karena akan menjadi beban bagi terpidana.
“Kalau argumentasinya (Hakim Mulyono) seperti itu (perhitungan kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti), dari sisi aturannya itu benar.
Dissenting opinion ini penting untuk menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya,” ujar Gurubesar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno kepada wartawan, Kamis (6/1).
Nur memaparkan, frasa ‘dapat’ dalam kalimat ‘…dapat merugikan keuangan negara’ dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah dinyatakan tidak berlaku oleh MK, sehingga kerugian negara dalam kasus korupsi haruslah kerugian keuangan negara yang riil, nyata, dan pasti.
“Kerugian negara harus riil dan pasti, tidak boleh hanya potensial kerugian," lanjutnya.
Menurut Nur, Hakim Mulyono memberikan
dissenting opinion karena menilai penghitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh BPK tidak konsisten.
Di satu pihak, BPK mendasarkan perhitungan pada pembelian dana investasi oleh Asabri yang tidak sesuai prosedur. Di sisi lain, BPK tetap menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah dalam perhitungan kerugian keuangan negara.
“Artinya di sini, BPK itu menggunakan 2 parameter yang berbeda, sehingga Anggota Majelis Hakim Mulyono menilai itu belum menunjukkan kerugian negara yang secara nyata ada, tetapi itu hanya menunjukkan potensial loss saja,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: