Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ada Perusahaan China tak Kooperatif, KPK Minta Pemerintah Jeli Saat Pembuatan Klausul Bisnis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Selasa, 21 Desember 2021, 22:39 WIB
Ada Perusahaan China tak Kooperatif, KPK Minta Pemerintah Jeli Saat Pembuatan Klausul Bisnis
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata/RMOL
rmol news logo Salah satu perusahaan asal China tidak kooperatif saat dimintakan data, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mempertimbangkan dalam kontrak bisnis dimasukkan klausul bisa diaudit oleh aparat penegak hukum.

Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata saat memaparkan hasil putusan terhadap terdakwa Richard Joost Lino alias RJ Lino selaku mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II.

Dalam perkara RJ Lino yakni terkait dengan pengadaan dan pemeliharaan tiga unit Quayside Container Crane (QCC) tahun 2010 di Pelabuhan Panjang (Lampung), Pontianak (Kalimantan Barat) dan Palembang (Sumatera Selatan), KPK mencetuskan dengan hasil audit internal dari KPK terkait kerugian negara dalam perkara ini.

RJ Lino bersama-sama dengan Ferialdy Norlan selaku Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II dan Weng Yaogen selaku Chairman Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd. (HDHM) China mengakibatkan kerugian negara seluruhnya senilai 1.997.740,23 dolar AS.

Namun dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak mempertimbangkan pembebanan pembayaran uang pengganti kepada perusahaan asal China tersebut sebesar 1.997.740,23 dolar AS.

KPK pun telah menyatakan upaya hukum banding dikarenakan Majelis Hakim tidak mempertimbangkan pembebanan uang pengganti tersebut kepada perusahaan asal China tersebut.

Saat ditanya terkait usaha KPK guna mengejar asset recovery dari kerugian negara yang harus dibayar oleh perusahaan China itu, Alex mengakui adanya kesulitan ketika berurusan dengan perusahaan yang memiliki yuridiksi hukum yang berbeda.

"Ini memang menjadi perhatian kami terkait dengan kerugian keuangan negara dari perkara korupsi. Betul ketika itu melibatkan entitas atau perusahaan yang memiliki yuridiksi hukum yang berbeda, pasti ada kesulitan. Apalagi kalau itu menyangkut sebuah BUMN dan otoritas setempat itu tidak kooperatif," ujar Alex saat berbincang dengan wartawan di Gedung Juang Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa sore (21/12).

Namun demikian, KPK mengaku akan berusaha untuk berkoordinasi dengan otoritas di China untuk mengejar dan menagih uang pengganti ke perusahaan HDHM jika perkara RJ Lino telah berkekuatan hukum tetap.

"Tentu itu nanti akan menjadi pegangan kami untuk menagih perusahaan tersebut dengan bantuan otoritas China," kata Alex.

Alex pun juga bercerita bahwa dirinya pada saat kepemimpinan KPK sebelumnya, pernah mendatangi langsung ke perusahaan asal China tersebut untuk meminta data terkait pengadaan QCC. Namun, Alex mengaku tidak mendapatkan data dikarenakan perusahaan HDHM tidak kooperatif dan tidak adanya bantuan dari otoritas China.

“Tetapi, ada satu hal lagi yang menurut kami mungkin perlu dipertimbangkan di dalam kontrak-kontrak bisnis, entah pemerintah atau BUMN dengan mitra usahanya, gak hanya di luar aja, tetapi juga di Indonesia kalau bisa ditambahkan klausul di dalam kontrak itu, bahwa perusahaan mitra itu menjadi subjek audit ketika terjadi permasalahan, terjadi perkara," jelas Alex.

Audit tersebut bisa dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun aparat penegak hukum (APH).

"Kalau itu tercantum di dalam kontrak, tentu ini menjadi hal yang mengikat kedua belah pihak. Jadi kalau ada persoalan seperti ini misalnya, misalnya di dalam perkara RJ Lino itu di dalam kontrak itu ada klausul seperti itu bahwa perusahaan mitra menjadi subjek audit dari aparat penegak hukum ketika di belakang hari ditemukan ada suatu unsur pelanggaran, atau fraud atau penyimpangan, nah itu saya kira tuh akan banyak membantu," terang Alex.

KPK pun mengaku juga akan berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) terkait hal tersebut.

"Apakah dimungkinkan membuat semacam klausul itu di dalam kontrak-kontrak bisnis di antara BUMN dengan mitra usahanya, atau pemerintah dengan perusahaan-perusahaan yang lain. Saya kira itu menjadi "sedikit banyak" mungkin juga akan membuat mitra usaha itu akan berpikir ulang ketika mereka akan kongkalikong atau apa dengan birokrat atau dengan siapapun," tutur Alex.

"Karena ketika ketahuan, kita bisa melakukan audit terhadap perusahaan mitra bisnis itu. Dan itu sangat bagus kalau itu bisa diakomodir di dalam klausul kontrak-kontrak bisnis antar BUMN atau mitranya, atau pemerintah dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan bisnis dengan pemerintah," sambung Alex menutup.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA