Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Sidang Gugatan UU Pemilu Anggota KPU, Kemendagri Beberkan Perbedaan Putusan Hukum DKPP dengan Pengadilan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Rabu, 06 Oktober 2021, 05:10 WIB
Di Sidang Gugatan UU Pemilu Anggota KPU, Kemendagri Beberkan Perbedaan Putusan Hukum DKPP dengan Pengadilan
Komisioner KPU Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik/RMOLAceh
rmol news logo Sidang ketiga permohonan uji materiil Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman dan Evi Novida Ginting, tehadap sejumlah pasal di dalam UU 7/2017 tentang Pemilu yang terkait Dewan Kehormatan Peyelenggara Pemilu (DKPP), menghadirkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)

Gugatan yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK secara virtual pada Selasa (5/10).

Staf Ahli Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kemendagri, Eko Prasetyanto Purnomo Putro, yang mewakili Pemerintah dalam sidang uji materiil ini membeberkan perbedaan putusan hukum DKPP dengan lembaga peradilan lainnya.

Penjelasan pihak pemerintah dengan permohonan Arief dan Evi ini terkait dengan dalil yang dimohonkan, yaitu tentang putusan DKPP Nomor 317-PKEDKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020, dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, Evi Novida Ginting Manik, tanggal 23 Maret 2020.

Maka dalam penjelasannya, Eko mengatakan bahwa DKPP memiliki hak untuk melakukan langkah-langkah penegakkan kode etik penyelenggaraan pemilu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pengaturan dalam UU Pemilu.

Dia memandang, tujuan dari penegakkan kode etik bagi penyelenggara pemilu oleh DKPP adalah menjaga integritas, kehormatan, kemandirian dan kredibilitas penyelenggara pemilu, agar tujuan dari penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dan Bawaslu dapat tercapai.

"Salah satunya yaitu terjaganya sistem ketatanegaraan yang demokratis, dan terciptanya pemilu yang adil dan berintegritas," ujar Eko dikutip melalui laman MK RI, Rabu subuh (6/10).

Dari situ Eko berpendapat, apabila kewenangan kelembagaan DKPP dihilangkan, maka tidak ada lembaga yang akan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pemilu.

Namun dia menekankan, putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Oleh karena DKPP adalah perangkat internal penyelenggara pemilu yang diberi wewenang oleh UU.

"Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun Bawaslu," tuturnya.

Lebih lanjut Eko menerangkan bahwa, KPU sebagai pelaksana dan pengendali penyelenggara pemilu diawasi oleh Bawaslu. Sedangkan sikap dan perilaku anggota KPU dan Bawaslu diawasi DKPP. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas DKPP diatur dalam ketentuan Pasal 161 ayat (2) UU pemilu yaitu peraturan pembentukan DKPP wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat (RDP).

Selain itu, sambung Eko, kontrol terhadap suatu pelaksanaan tugas dan wewenang DKPP juga diatur dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Pemilu yang menyatakan bahwa setiap anggota DKPP pada setiap unsur dapat diganti antar waktu. Pasal ini berkaitan dengan Pasal 155 ayat (4) dan ayat (5) UU Pemilu yang mengatur unsur keanggotaan DKPP.

Dalam kesempatan itu, Eko menyampaikan harapan agar para Pemohon dapat ikut serta dalam pembahasan revisi UU Pemilu. Karena katanya, Pemerintah menghargai usaha-usaha yang dilakukan masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam membangun pemahaman tentang ketatanegaraan.

Sehingga pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut, dipastikan Eko, akan menjadi sebuah rujukan yang berharga bagi pemerintah khususnya masyarakat Indonesia pada umumnya.

"Atas dasar pemikiran tersebut pemerintah berharap agar pemohon ikut serta memberi masukan dan tanggapan terhadap penyempurnaan UU a quo di masa mendatang dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," ucapnya.

"Harapan pemerintah pula bahwa dialog antara masyarakat dan pemerintah tetap terus terjaga dengansatu tujuan bersama untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara demi masa depan Indonesia lebih baik dan mengembangkan dirinya dalam pemerintahan dan tujuan ikut berkontribusi positif mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945,” imbuh Eko.

Dalam perkara ini, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11); ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu sepanjang frasa "putusan" sebagai conditionally constutional (konstitusional bersyarat) sepanjang dimaknai sebagai "keputusan" yang dapat diuji langsung ke peradilan Tata Usaha Negara. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA