Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ada Dugaan Markup dalam Pengadaan BBM di Distanbun Aceh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Kamis, 12 Agustus 2021, 01:02 WIB
Ada Dugaan Markup dalam Pengadaan BBM di Distanbun Aceh
Kantor Distanbun Aceh/RMOLAceh
rmol news logo Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh menemukan bukti pertanggungjawaban Bahan Bakar Minyak (BBM) Solar Nonsubsidi pada kegiatan Swakelola Pengolahan Lahan Sawah tidak diyakini kebenarannya sebesar Rp 1,57 miliar lebih.

Hal tersebut terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Nomor: 5/LHP DTT/XVIII.BAC/12/2020, tanggal 30 Desember 2020 terkait kepatuhan pemerintah Aceh atas penanganan Pandemi Covid-19 tahun 2020 di Aceh.

Pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan BPK RI Perwakilan Aceh tersebut dilakukan dari 7-30 September 2020 selama 20 hari. Sedangkan pemeriksaan terinci dilakukan dari 7-20 Oktober sampai dengan 24 November 2020 selama 30 hari.

Dalam LHP BPK disebutkan bahwa pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran percepatan penanganan Covid-19 untuk bidang penanganan dampak ekonomi antara lain pada Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh melalui kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana UPTD Mekanisasi Pertanian dengan anggaran sebesar Rp11,2 miliar, dengan realisasi per 15 November 2020 sebesar Rp8,7 miliar atau 78,18 persen.

Anggaran tersebut di antaranya untuk belanja barang dan jasa sebesar Rp10,5 miliar dan realisasi sebesar Rp8,2 miliar.

Dalam laporannya, BPK menyebutkan bahwa UPTD Mekanisasi Pertanian dan Bidang Tanaman Pangan telah melaksanakan kegiatan pengembangan kawasan padi ketahanan pangan masa pandemi Covid-19 pada 12 kabupaten seluas 16.000 Hektare, bantuan sarana produksi (saprodi) yang diberikan berupa olah tanah gratis, benih (25 kg/Ha) dan pupuk NPK (50 kg/ha).  

Disebutkan bahwa kegiatan pengolahan lahan sawah gratis dilaksanakan secara swakelola melalui perjanjian  kerjasama antara Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh dengan mitra swakelola Nomor 520/12002/X1/2020 dan Nomor O1/PKS/VII/2020 tanggal 1 Juli 2020 sebesar Rp9,6 miliar.

Metode pembayaran dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap I sebesar 40 persen, tahap Il sebesar 40 persen dan tahap III sebesar 20 persen.  
Pembayaran itu sendiri telah direalisasikan sampai dengan tahap II sebesar Rp7,68 miliar melalui SP2D Nomor 0009940/LS BL/2020 tanggal 16 Juli 2020 sebesar Rp3,84 miliar untuk tahap I dan Nomor 0015406/LS BL/2020 tanggal 16 September 2020 sebesar Rp3,84 miliar untuk tahap II.  

Hasil pemeriksaan secara uji petik atas dokumen kontrak, dokumen pertanggungjawaban keuangan, laporan harian fisik kegiatan, hasil konfirmasi, pemeriksaan fisik dan permintaan keterangan kepada kelompok tani, pelaksana kegiatan swakelola, PPTK, serta KPA diketahui sejumlah hal yaitu, pertama, pada kegiatan pengolahan lahan sawah.

Pada kegiatan ini, beberapa petani penerima bantuan belum terdaftar di dalam Sistem Informasi Ketenagaan Penyuluhan Pertanian (Simluhtan).

Penerima bantuan Pemerintah Aceh melalui kegiatan pengembangan padi ketahanan pangan masa pandemi Covid-19 tahun 2020 ini ditetapkan melalui Keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Nomor 820/1790/IL1 tanggal 8 Oktober 2020 tentang Perubahan Keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Nomor 820/1564/II.1 tanggal 27 Juli 2020 tentang Pengesahan Calon Petani dan Calon Lokasi (CPCL) Penerima Bantuan Pemerintah Kegiatan Pengembangan Padi dan Jagung Ketahanan Pangan Masa Pandemi Covid 19 Tahun 2020.  

Dilaporkan Kantor Berita RMOLAceh, hasil konfirmasi auditor BPK dengan Bidang Penyuluhan Dinas Pertanian diketahui bahwa nama penerima bantuan yang terdapat dalam SK CPCL merupakan hasil verifikasi dan validasi yang bersumber dari database Simluhtan.  

Kemudian auditor BPK melakukan konfirmasi dan pemeriksaan dokumen penerima bantuan program kegiatan pengembangan kawasan padi ketahanan pangan masa pandemi Covid 19 secara uji petik.

Di Kabupaten Aceh Timur, Kecamatan Bireuem Bayem, Desa Alue Gadeng terdapat petani penerima bantuan pada Kelompok Tani Gadeng Jaya dan Gadeng Baro bukan nama petani yang terdaftar di dalam Simluhtan yang menjadi dasar dalam penetapan kelompok CPCL.

Hal ini dikarenakan ada pergantian nama penyewa atas lahan yang didaftarkan ke Simluhtan. Lalu di Kabupaten Nagan Raya, Kecamatan Suka Makmue, Desa Macah, petani yang terdaftar di dalam Simluhtan merupakan pemilik lahan, namun yang menerima bantuan adalah penyewa lahan sebagaimana tertera di dalam tanda terima bantuan.  

Selanjutnya, berdasarkan konfirmasi BPK kepada Ketua Kelompok disebutkan bahwa penerima bantuan pengolahan sawah lebih kurang 60 persen penyewa lahan dan 40 persen pemilik lahan. Kelompok tani tidak memiliki struktur kelompok yang ditanda tangani oleh Keuchik yang merupakan dasar untuk penginputan database petani di Simluhtan.  

Di Kabupaten Nagan Raya, Kecamatan Kuala Desa Blang Baro dan Alue Ie Mameh, disebutkan struktur kelompok yang dimiliki kelompok tani setiap tahun akan berbeda karena tidak semua anggota kelompok memiliki lahan dengan komposisi 30 persen penyewa/penggarap dan 70 persen pemilik lahan.  

Hal lain yang menjadi temuan BPK berdasarkan hasil wawancara dengan Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian diketahui usulan CPCL pada Tahun 2020 merupakan usulan kelompok tani pada Tahun 2019, sehingga perubahan nama anggota kelompok tani pada Simluhtan masih menggunakan database Tahun 2019.

Selain itu penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) belum didukung bukti perhitungan yang akurat. Sebelumnya berdasarkan Surat Gubernur Aceh Nomor 520 5643 tanggal 2 April 2020 perihal Stabilitas Pangan Aceh, Gubernur Aceh menyampaikan kepada Para Bupati/Walikota se-Aceh untuk memfasilitasi biaya operasional dan operator dalam melakukan gerakan percepatan tanam padi dan jagung.

Dalam surat tersebut Gubernur Aceh menyampaikan kepada Bupati/Walikota memfasilitasi kegiatan tersebut dengan memaksimalkan penggunaan traktor yang ada pada UPTD Mekanisasi Pertanian Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh di Kabupaten/Kota termasuk yang dikelola oleh pelaksana mitra swakelola dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.  

Dalam LHP BPK disebutkan, guna menindaklanjuti Surat Gubernur tersebut, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh menyampaikan Nota Dinas Nomor 875 1199 II tanggal 29 April 2020 kepada Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan selaku Koordinator, Kepala Bidang Penyuluhan Pengembangan SDMPP selaku Ketua, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Kepala Ridang Sarana dan Prasarana Pertanian, dan Kepala UPTD Mekanisasi Pertanian selaku anggota.

Mereka diminta untuk menyiapkan tenaga operator dan mengkoordinasikan biaya operasional traktor roda 4 dengan Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar Rp600 ribu per Hektar.

Dengan perhitungan biaya operasional traktor tersebut, dianggarkan harga minyak seharga Rp5.500 per liter. Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan KPA dan PPTK kegiatan pengolahan lahan sawah diketahui bahwa perhitungan tersebut tidak digunakan sebagai dasar untuk menetapkan usulan KAK maupun RAB.  

Hasil penelusuran lebih lanjut terhadap KAK dan RAB diketahui bahwa rincian komponen biaya antara KAK juga tidak sama dengan RAB. Dari hal tersebut diketahui bahwa BBM yang dianggarkan adalah BBM Solar Nonsubsidi dengan harga sebesar Rp9.400/liter serta penambahan komponen belanja kegiatan pada KAK yaitu juru ukur, bantuan operasional dan biaya administrasi.

Komponen biaya yang menjadi acuan dalam perjanjian/kontrak swakelola adalah berdasarkan KAK.  Hasil pemeriksaan BPK atas komponen biaya dan wawancara dengan KPA dan PPTK kegiatan diketahui bahwa anggaran harga minyak (BBM) berdasarkan Lampiran Nota Dinas Nomor 875 1199 II per liter sebesar Rp5.500 kemudian berubah menjadi sebesar Rp9.400 pada RAB dan KAK tidak didukung dengan survei ketersediaan minyak pada SPBU di daerah, serta jenis mesin traktor yang akan digunakan.

Dari wawancara dengan PPTK dan KPA UPTD Mekanisasi Pertanian diketahui ada perubahan penggunaan BBM subsidi menjadi BBM Nonsubsidi karena pada e-componeni dalam e-budgeting tidak mencakup harga BBM Subsidi.

Selain itu adanya pemahaman bahwa untuk kegiatan ini tidak bisa menggunakan BBM Subsidi. Namun hasil konfirmasi kepada beberapa SPBU bahwa pembelian BBM Solar Nonsubsidi diperkenankan jika ada surat pengantar dari Dinas Pertanian.  

Untuk komponen biaya makan minum juruukur belum berdasarkan kebutuhan di lapangan. Berdasarkan konfirmasi dan pemeriksaan fisik di lapangan bahwa luas lahan sawah yang dikerjakan telah ditentukan berdasarkan SK CPCL.  

Selain itu, luasan lahan yang dikerjakan telah sesuai dengan struktur kelompok dan database Simluhtan. Sehingga, tidak diperlukan juru ukur untuk melakukan pengukuran ulang dan memvalidasi ketepatan luas lahan yang dikerjakan.

Pun tidak diperoleh bukti foto kegiatan pengukuran dan kertas kerja hasil pengukuran oleh juru ukur.

Yang sangat menarik dari temuan ini terkait bukti pertanggungjawaban BBM Solar Nonsubsidi dan bahan bakar minyak kegiatan mobilisasi dan demobilisasi tidak diyakini kebenarannya.

Dari hasil pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban keuangan dan konfirmasi kepada SPBU yang berada di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Nagan Raya, serta Aceh Selatan yang merupakan tempat pembelian BBM sesuai bukti pertanggungjawaban, diketahui harga BBM solar per liter pada bukti pertanggungjawaban lebih tinggi dengan harga BBM solar berdasarkan SPBU yang dikonfirmasi.

Bahkan hasil konfirmasi menunjukkan bahwa bukti pembelian BBM yang dilampirkan sebagai bukti pertanggungjawaban tidak diyakini kebenarannya dan berpotensi pemahalan harga.

Setelah dilakukan perhitungan ulang atas pembelian BBM solar/biosolar untuk traktor/hand traktor antara bukti pertanggungjawaban dengan hasil konfrmasi dengan SPBU terkait diperoleh selisih harga sebesar Rp1,5 miliar lebih.

Dalam laporan ini, BPK  menyebutkan selain penggunaan BBM solar/biosolar untuk traktor/hand traktor juga digunakan untuk mobilisasi dan demobilisasi alat.

Tapi hasil perhitungan harga BBM Solar antara bon BBM sesuai bukti pertanggungjawaban dibandingkan dengan harga konfirmasi kepada SPBU, terdapat selisih harga sebesar Rp71,7 juta.

Pertanggungjawaban atas penggunaan BBM diatas belum termasuk pertanggungjawaban pembelian BBM Termin III yang dilaksanakan pada sembilan kabupaten sebagaimana tercantum pada Tabel 3.32 dan Termin I s.d. III di Kabupaten Aceh Barat Daya, Simeuleu dan Aceh Tenggara, BPK belum melakukan pengujian.

Pun demikian, BPK menyebutkan bahwa kondisi tersebut tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 132 ayat (1), Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 dan Lampiran Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2014.

Hal tersebut juga tidak sesuai dengan Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat, Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Menurut BPK, pertanggungjawaban pembelian BBM Termin III yang dilaksanakan pada sembilan kabupaten juga tidak sesuai dengan Kontrak Swakelola Nomor 520/12002/XI/2020 tanggal 1 Juli 2020 pada Pasal & menyatakan bahwa, pembayaran dilakukan berdasarkan termin dengan cara transfer ke Nomor Rekening 614 01.99.12346i 4 PT Bank Aceh Syariah yang diatur sesuai dengan tata cara dimana tahap pertama untuk persiapan pelaksanaan pekerjaan, akan dibayar sebesar 40 persen dari nilai kontrak setelah kontrak ditandatangani.

Tahap kedua dibayarkan sebesar 40 persen dari nilai kontrak setelah kemajuan fisik di lapangan mencapai minimal 40 persen yang dilengkapi dengan laporan dan dokumentasi kemajuan fisik pelaksanaan pekerjaan.

Kemudian tahap ketiga dibayarkan sebesar 20 persen setelah kemajuan fisik pekerjaan minimal 80 persen dilengkapi dengan laporan dan dokumentasi kemajuan fisik pelaksanaan pekerjaan dan bila telah berakhir masa kontrak dan terjadi kelebihan pembayaran kepada pihak kedua, maka pihak kedua wajib mengembalikan ke pihak pertama melalui rekening pengembalian yang ditetapkan oleh pihak pertama.  

Dari fakta-fakta berdasarkan temuan ini, BPK berkeyakinan bahwa hal ini mengakibatkan risiko tidak tepat sasaran, dikarenakan oleh database Simluhtan belum update dan mutakhir untuk digunakan sebagai CPCL penerima bantuan.  

Selain itu Kerangka Acuan Kerja (KAK) kegiatan swakelola belum menghasilkan rencana kebutuhan tenaga dan bahan yang ekonomis dan efisien, dan bukti pertanggungjawaban BBM sebesar Rp1,579 miliar tidak diyakini kebenarannya.  

Dalam LHP BPK, atas temuan tersebut, Kepala Distanbun Aceh mengatakan bahwa penggunaan BBM Nonsubsidi yang ditetapkan dalam RAB sebesar Rp9.400 telah sesuai dengan harga ketetapan BBM Nonsubsidi Pertamina dan masih dibawah harga yang ditetapkan dalam e komponen sebesar Rp13.834 serta kondisi lapangan yang sulit dijangkau juga sebagai pertimbangan untuk menetapkan BBM Nonsubsidi.  

Atas hal ini, BPK perwakilan Aceh merekomendasikan agar Gubernur Aceh menginstruksikan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan untuk memerintahkan KPA mempertanggungjawabkan belanja BBM yang tidak diyakini kebenarannya sebesar Rp 1,579 miliar agar diverifikasi oleh Inspektorat Aceh. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA