Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Universitas UGJ Dianggap Diskriminatif terhadap Kasus Penganiayaan Dokter Herry

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/idham-anhari-1'>IDHAM ANHARI</a>
LAPORAN: IDHAM ANHARI
  • Rabu, 04 Agustus 2021, 23:00 WIB
Universitas UGJ Dianggap Diskriminatif terhadap Kasus Penganiayaan Dokter Herry
Penasehat hukum korban penganiayaan, Djarkasih saat memberikan keterangan pers terkait kasus yang dialami kliennya/Ist
rmol news logo Sidang perkara penganiayaan dosen Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon. Sejumlah saksi yang meringankan terdakwa, dan saki ahli pun telah memberikan keterangan.

Saksi yang diundang berasal dari lingkungan kampus, dari dekan hingga sekuriti telah memberikan keterangannya dalam persidangan perkara penganiayaan itu.

Penasehat hukum korban, Djarkasih menilai keterangan saksi bertolak belakang dengan apa yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Dalam kesaksian itu UGJ menyikapi persoalan antara korban dan pelaku tidak ada diskriminasi, hal ini menurut kami adalah tidak benar. Sebelumnya kami telah melayangkan surat klarifikasi yang ditujukan kepada rektor melalui dekan FK UGJ," kata Djarkasih dalam keterangan tertulis, Rabu (4/8).

Djarkasih mengatakan kliennya Herry Nurhendriyana sejak membawa kasus penganiayaannya ke ranah hukum mendapat diskriminasi dari pihak UGJ, kliennya dikeluarkan dari beberapa grup aplikasi perpesanan. Tak hanya itu, Djarkasih menyebut jadwal mengajar Herry selaku dosen dan sebagai pembimbing mahasiswa juga diganti oleh dosen lain.

"Terhadap klarifikasi tersebut tidak pernah ada tanggapan baik secara lisan maupun tertulis, alasan itulah kami menganggap pihak UGJ melakukan diskriminasi," kata Djarkasih.

Selain itu, Djarkasih juga menilai keempat saksi yang meringankan terdakwa dalam sidang kemarin tak memberikan keterangan tentang subtansi perkara.

"Keterangannya tidak ada korelasi dengan pembuktian perkara," kata Djarkasih.

Korban dr Herry Nurhendriyana menuturkan, ketika membawa kasus penganiayaannya ke jalur hukum mendapat tekanan mulai dari Ketua Yayasan UGJ hingga rektorat, dengan berbagai ancaman ia diminta untuk mencabut laporan polisi.

“Saya diberitahu oleh beberapa karyawan Fakultas Kedokteran bahwa jadwal mengajar saya telah di ganti oleh dosen lain, serta jadwal skill lab dan status pembimbing skripsi mahasiswa saya di cabut dan dialihkan kepada dosen lain tanpa alasan yang jelas oleh dekan,” ungkap Herry.

Adapun kasus ini bermula dari kecurigaan dr Herry setelah dirinya mengungkap adanya kejanggalan pada adminitrasi klinik dan apotek Cakrabuana. Tanda tangannya di scan tanpa izin untuk keperluan administrasi dan kuitansi Klinik dan Apotek yang berada di bawah naungan Fakultas Kedokteran UGJ itu.  

Herry mendapatkan informasi dari karyawan salah satu apotek Cakrabuana bahwa telah ada pembelian alat rapid test tanpa sepengetahuanya. Pembelian alat tersebut dibeli klinik dari pelaku Donny dengan harga lebih tinggi dari harga pasaran pada umumnya.

"Saudara Donny menjual rapid antigen kepada klinik dan apotek Cakrabuana tanpa sepengetahuan saya dengan harga yaitu sebesar Rp. 2.900.000 perbuah,  dimana harga tersebut lebih tinggi dari harga yang ditawarkan oleh agen lain yaitu sebesar Rp. 1.700.000," beber Herry.

Melihat kejanggalan itu, Herry kemudian memutuskan agar klinik dan apotek tidak lagi membeli peralatan rapid antigen kepads Donny.

"Saya merasakan setiap berbincang dengan saya, Donny menunjukan sikap tidak suka, dengan raut wajahnya," pungkas Herry.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA