Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Beda Polri Dan Kejagung Tangani Anggotanya Korupsi, Prof Suparji: Penegak Hukum Harus Tegas Tak Pandang Bulu

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/idham-anhari-1'>IDHAM ANHARI</a>
LAPORAN: IDHAM ANHARI
  • Jumat, 09 Juli 2021, 18:08 WIB
Beda Polri Dan Kejagung Tangani Anggotanya Korupsi, Prof Suparji: Penegak Hukum Harus Tegas Tak Pandang Bulu
Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad/Net
rmol news logo Ketegasan aparat penegak hukum dalam menangani sebuah kasus mutlak harus dilakukan, termasuk saat menangani anggotanya yang terlibat korupsi. Hal ini diperlukan agar publik dapat menilai secara objektif terhadap sebuah putusan Hakim apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.  

Demikian pandangan pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad terkait perbedaan perlakuan antara Polri dengan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi anggotanya.

"Komitmen untuk bersikap tegas harus ditunjukkan oleh semua penegak hukum. Sehingga tidak terjadi preseden buruk di masa yang akan datang," kata Suparji kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (9/7).

Sementara kalangan menilai, perbedaan perlakuan antara Polri dengan Kejaksaan Agung dalam menangani anggotanya yang terlibat kasus korupsi memang terlihat nyata. Dalam kasus suap Djoko Tjandra misalnya, anggota kedua institusi penegak hukum itu terlibat. Dari Polri ada Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo, sementara Kejaksaan Agung hanya Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Ketiganya telah ditetapkan tersangka menerima suap bahkan sudah dijatuhi vonis. Napoleon 4 tahun penjara, dimana vonisnya lebih berat dari tuntutan jaksa, dan Brigjen Prasetijo Utomo 3,5 tahun lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 2,5 tahun.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Kabareskrim Polri yang menangani kasus suap ini, bahkan dengan keras menyatakan korps bhayangkara tidak pandang bulu dalam memproses hukum kedua pelaku yang merupakan perwira tinggi itu.

Namun berbeda dengan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang oleh majelis hakim divonis hanya 4 tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan yakni 10 tahun. Vonis ini makin mempertajam asumsi publik bahwa Kejaksaan Agung terkesan ada konflik kepentingan, apalagi korps adhiyaksa memutuskan untuk tidak mengajukan kasasi atas vonis ringan Jaksa Pinangki.

Suparji Menekankan, pada dasarnya proses hukum memang tidak boleh pandang bulu. Namun ia melihat perbedaan vonis antara Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo dipengaruhi oleh kesalahan pada pelakunya atau dengan kata lain perbedaan didasarkan pada kesalahan masing-masing terdakwa.

"Ada sistem yang integratif dalam penegakan hukum pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Pengadilan dan pelaksaan putusan pengadilan (integrated criminal juctice system), antara Polisi dan Kejaksaan pada hakekatnya adalah satu kesatuan untuk penegakan hukum. Dengan demikian, ada kontrol jika tidak sesuai dengan hukum yang semestinya. Pada kasus tersebut tentunya sangat dipengaruhi kesalahan pada pelakunya," demikian Suparji.rmol news logo article


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA