Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nyatakan Pembelaan, Syahganda Nainggolan Sebut Jaksa Tidak Berpengalaman

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Kamis, 08 April 2021, 17:25 WIB
Nyatakan Pembelaan, Syahganda Nainggolan Sebut Jaksa Tidak Berpengalaman
Suasan sidang pembacaan pledoi oleh Inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan (dalam layar projector paling kiri atas), di PN Depok, Kamis, 8 April/RMOL
rmol news logo Inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan membacakan pembelaan atau pledoinya, atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Kamis (8/4).
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dalam pledoinya, Syahganda mengatakan bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946 terkait penyebaran berita bohong dan berakibat keonaran yang dituduhkan kepadanya tidak sesuai dengan  impian Reformasi Mahasiswa 98 dan perkembangan teknolgi digital.

Karena menurutnya, reformasi ingin menjadikan rakyat tidak tinggal duduk berpangku tangan lalu Negara mencekoki mulut-mulut lapar mereka. Tetapi, menginginkan demokrasi berlandasakan pada empat hal penting yang dihasilkan dari kesepakatan reformasi.

"Empat hal penting yang dihasilkan dari Kesepakatan Reformasi 98 yaitu, partai politik yang komit terhadap konstituennya, media massa yang bebas, Civil Society yang kuat dan Rule of Law atau supermasi hukum yang berbasis pada human rights," kata Syahganda menjelaskan.

Bahkan di era digital sekarang ini, Syahganda melihat peluang bagi masyarakat untuk melakukan konsolidasi ide-ide dan juga gagasan semakian terbuka.

Dia memberikan contoh era keterbukaan dan kebebesan ruang digital di negara maju di Eropa yakni Perancis. Syahganda menyebutkan, satu kejadian ketika Presiden Macron, berusaha mempengaruhi pemilik Facebook dan Google untuk memata-matai (Surveillance) atau meredam gerakan Civil Society.

Namun katanya, perusahaan besar teknologi digital (Big-tech) tersebut justru mengabaikannya. Selain itu, ada juga kejadian lain yang disebutkan Syahganda, ketika eks Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam Twitter tapi akhirnya akunnya di delete.

"Jika Big-tech di negara maju bersikap mendukung demokrasi, kemungkinan berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia. Ini membutuhkan komitmen kita bersama, apakah kehadiran media sosial dapat mendorong demokrasi atau mematikan demokrasi?" ucapnya.

Dari uraian itulah Syahganda memandang tuduhan kejahatan terhadapnya di dunia media sosial Twitter tidak relevan. Karena disamping tidak sesuai dengan iklim demokrasi di dunia, juga tidak relevan dengan undang-undang yang digunakan jaksa.

Syahganda berpandangan secara substansial, UU ini tidak layak digunakan karena mengadopsi hukum militer Belanda. Sehingga dia berkesimpulan, jaksa tidak mengerti menerapkan pasal-pasal tersebut untuk menarik benang merah konteks revolusi kemerdekaan pada tahun 1946-1948, yang masyarakatnya hidup tanpa media komunikasi yang secanggih zaman milenial penuh digitalisasi sekarang ini.

"Memakai Undang-Undang (UU) ini pada kasus saya sebenarnya sangatlah memilukan. Apalagi para JPU bertanya kepada para ahli yang hadir di persidangan 'kapan sih UU Nomor 1 tahun 1946 ini digunakan?', 'Apakah pasal 14 ayat (1) itu delik formil atau materil', tanya jaksa lagi ke ahli. Tidak ada satupun JPU yang pengalaman," tegas Syahganda.

"Tadinya saya berpikir Jaksa Penuntut Umum akan menuntut saya 6 bulan penjara, untuk membuat efek jera pada pengkritik Pemerintah seperti saya. Namun, tuntutan Jaksa selama enam tahun ini belum bisa saya temukan rasionalitasnya selama saya menjadi aktifis politik," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA