Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ramon Wahyudi dengan anggota Hakim Nur Ervianti Meililala dan Andi Imran Makulau, Margarito Kamis menyampaikan penilaiannya atas pemidanaan Syahganda yang dikenakan Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946; atau Pasal 14 ayat (2) UU 1/1946 atau Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman 10 tahun penjara.
Margarito berpendapat, apa yang ditulis Syahganda di dalam akun Twitternya terkait rencana aksi demonstrasi menolak RUU omnibus law Cipta Kerja, sebagai pendapat dan bukan kabar bohong.
Sebabnya, Syahganda sebagai warga negara memiliki hak berpendapat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
"Ini konyol peradilan, kalau pendapat orang dibilang bohong. Saya beda pendapat dengan orang lain itu biasa sejak dulu. Apa dasar pokok analisisnya orang dibilang bohong," ujar Margarito Kamis dihadapan persidangan yang digelar secara luring dan daring ini.
Selain itu, Margarito juga menyebutkan, aksi demonstrasi yang menjadi objek pembicaraan Syahganda di dalam akun Twitternya sah menurut Undang-undang, karena diizinkan pihak kepolisian.
"Tidak ada alasan dalam ilmu hukum untuk mempolitisir demonstrasi. Karena demonstrasi sendiri adalah hal yang legal," ucap Margarito.
"Mendukung demo kemudian demo itu sah tidak bisa dipidanakan. Dan tidak bisa disebut bohong," sambungnya.
Ditambah lagi, Margarito menilai pernyataan Syahganda melalui akun Twitternya juga tidak bisa dinilai sebagai sebab dari keonaran dari aksi ricuh dalam demonstrasi menolak RUU omnibus law Cipta Kerja.
Karena menurutnya, upaya memancing keonaran itu bersifat konkret, dalam konteks waktu dan tempat. Bukan seperti anggapan hukum yang dimasukan ke dalam dakwaan persidangan ini.
"Keonaran itu konkret, orang keluar gang ramai di sana sini, berebut ini itu. Sedangkan ini tidak bisa," katanya.
Oleh karena itu, Margarito menilai kasus hukum Syahganda Nainggolan ini konyol, karena mengkualifikasi pernyataaan di Twitter sebagai kebohongan.
Bahkan menurutnya, dari kasus Syahganda ini bisa dilihat sistem politik hukum pemerintah sekarang ini cendrung tidak ingin ada perbedaan pendapat, mirip dengan rezim Hitler di Jerman.
"Ini bangsa konyol, orang tidak boleh ngomong apa-apa. Sama dengan sistem hukum Hitler waktu terpilih jadi kanselir, ada yang namanya
enabling act," tutur Margarito Kamis.
"Di dalamnya tidak boleh orang berbicara lain selain Hitler. Apakah kita ingin negara ini dijadikan negara Hitler, Nazi? Fatal pak," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: