Namun, Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno (UBK), Azmi Syahputra, menyarankan agar jangan ada penghapusan pasal-pasal di dalam UU ITE, jika revisi jadi dilaksanakan.
"Karena kalau dihapuskan akan menghilangkan perlindungan terhadap kepentingan hukum yang juga perlu dilindungi," ujar Azmi kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (18/2).
Polemik penggunaan pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE, diakui Azmi, memang menggerus penanganan tindak pidana yang dulunya terfokus pada pengaturan kegiatan perekonomian secara elektronik.
"Justru dalam operasionalisasinya menimbulkan instrumen yang syarat dengan ketentuan pembatasan terhadap aktivitas di dunia maya, dan kini menjadi kontroversi, debatebel dan bahkan sebahagian masyarakat menganggap pasal-pasal tertentu dalam UU ITE menjadi overkrimisalisasi," tuturnya.
Maka dari itu, Azmi menyarankan agar jika revisi UU ITE ini benar dilaksanakan DPR, ada harapan agar dalam prosesnya nanti tidak menghapus pasal-pasal yang diistilahkan sebagai pasal karet. Misalnya Pasal 27 yang terkait penghinaan atau pencemaran nama baik. Tetapi, meracik ulang perumusan delik hukum yang diatur di dalamnya.
"Yakni dengan menata kembali perumusan delik (reformulasi) terhadap pasal -pasal dalam UU ITE yang menjadi kontroversi, atau berpotensi overkrimimalisasi dan dianggap menjadi berkurangnya ruang dialektika publik dalam demokrasi," tuturnya.
"Ini agar diletakkan secara seimbang sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana, termasuk menghindari formulasi jangkauan delik terlalu luas atau menjadi delik yang jangkauan liar dalam penegakannya," demikian Azmi Syahputra.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: