Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Begini Isi Eksepsi Jumhur Hidayat Yang Berjudul 'Kepentingan Politik Penguasa Untuk Membungkam Demokrasi'

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 28 Januari 2021, 15:06 WIB
Begini Isi Eksepsi Jumhur Hidayat Yang Berjudul 'Kepentingan Politik Penguasa Untuk Membungkam Demokrasi'
Sidang Eksepsi Jumhur Hidayat/RMOL
rmol news logo Aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jumhur Hidayat telah menyampaikan eksepsi atau nota keberatan di sidang lanjutan perkara dugaan penyebaran berita hoax di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Kamis siang (28/1).

Eksepsi ini dibacakan oleh kuasa hukum Jumhur di dalam persidangan yang berlangsung dengan pengawalan ketat oleh pihak Kepolisian. Sementara itu, terdakwa Jumhur sendiri mengikuti sidang secara virtual.

Eksepsi Jumhur Hidayat ini diberi judul "Kepentingan Politik Penguasa Untuk Membungkam Demokrasi".

Dalam eksepsi ini, terdapat beberapa poin yang disampaikan. Mulai dari fakta dan kronologis peristiwa hingga permohonan dari Jumhur yang dibacakan oleh tim kuasa hukumnya.

Pada fakta dan kronologis peristiwa, dijelaskan bahwa penolakan Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja sudah disampaikan banyak pihak sebelum disampaikan oleh Jumhur.

Mulai dari elemen masyarakat baik dari akademisi, buruh, tani, mahasiswa, masyarakat sipil, masyarakat adat hingga beberapa kepala daerah dan DPRD.

Bahkan, penolakan itu pun disampaikan melalui demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Apalagi, postingan-postingan di media sosial soal menyampaikan pendapat penolakan RUU Cipta Kerja juga banyak dilakukan oleh masyarakat.

"Jejak dan bukti-bukti sangat banyak dan bisa dihadirkan bahwa demonstrasi atau kegiatan aksi menyampaikan pendapat di muka umum pun telah dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat sejak bulan Juli 2020. Twit-twit serta status penolakan dari masyarakat di sosial media juga sangat banyak muncul dan beredar. Jelas ini bukan karena pengaruh twit dari terdakwa Moh. Jumhur Hidayat," ujar kuasa hukum Jumhur, Oky Wiratama Siagian.

Selain itu, kata Oky, selama proses pemeriksaan di kepolisian, penasihat hukum Jumhur sering mendapat perlakuan dihalang-halangi untuk melakukan kunjungan tanpa alasan yang jelas.

"Yang mana hal ini telah mempersulit terdakwa atas hak atas bantuan hukum demi kepentingan pembelaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Ayat 1 KUHAP," kata Oky.

Pada poin selanjutnya, masih kata Oky, ada pelanggaran HAM berupa represivitas aparat kepolisian dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat soal penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Kuasa hukum Jumhur pun mengaku mencatat tindakan-tindakan brutal aparat sepanjang aksi serentak nasional pada 6, 7, dan 8 Oktober 2020.

Tindakan brutal itu pun juga diiringi dengan penangkapan terhadap ribuan massa aksi. Tercatat sebanyak 3.367 massa aksi ditangkap.

Sementara pihak Polri pun menyebut bahwa yang ditangkap sebanyak 5.918 massa aksi.

Pembungkaman pun bukan hanya melalui pihak Kepolisian, melainkan juga dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terhadap aktivis mahasiswa dan akademisi dengan mengeluarkan surat edaran nomor 1035/E/KM/2020 perihal imbauan pembelajaran secara daring dan sosialisasi UU Cipta Kerja.

"Dari kronologis di atas dan pemaparan di atas, kami penasihat hukum terdakwa menyimpulkan. Satu, terdakwa bukanlah pelaku yang melakukan tindakan pidana ujaran kebencian atau menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran," jelas Oky.

Kedua, surat dakwaan JPU yang menjadi dasar persidangan ini dianggap mengabaikan fakta peristiwa sesungguhnya.

"Ketiga, bahwa dari pemaparan di atas, kami dari tim penasihat menyimpulkan telah terjadi kriminalisasi terdakwa atas kebebasan berpendapat yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan," terangnya.

Sementara itu, Oky juga menyampaikan alasan keberatan atau eksepsi ini. Yaitu, surat dakwaan tidak sah karena JPU merubah surat dakwaan tanpa mengajukan permohonan ke Ketua PN Jaksel.

Kedua, eksepsi dakwaan JPU tidak dapat diterima karena dakwaan JPU tidak berdasarkan proses penyidikan yang sah dan penetapan tersangka tidak dilakukan dengan proses penyelidikan.

Selanjutnya, karena penangkapan dan penahanan terdakwa cacat formil. Penyidik melanggar hak terdakwa atas bantuan hukum.

Ketiga, eksepsi dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap. Karena, dakwaan JPU tidak menguraikan unsur patut disangka berita bohong, dakwaan tidak menguraikan unsur keonaran masyarakat, dakwaan tidak lengkap karena tidak menguraikan unsur kebencian atau permusuhan terhadap individu dan atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA.

Dengan demikian, Jumhur menyampaikan permohonan kepada Majelis Hakim PN Jaksel yang mengadili perkara ini. Yakni, menyatakan menerima dan mengabulkan eksepsi dari penasihat hukum untuk seluruhnya.

Kedua, menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau dinyatakan tidak dapat diterima. Ketiga, menyatakan surat dakwaan penuntut umum tidak sah.

Keempat, menyatakan bahwa terdakwa Mohammad Jumhur Hidayat tidak dapat dipersalahkan dan dihukum berdasarkan surat dakwaan yang tidak sah, batal demi hukum atau tidak dapat diterima tersebut.

Kelima, membebankan biaya perkara kepada negara. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA