Jatah Rp7 miliar ini sebelumnya terungkap dalam surat dakwaan Napoleon yang dibacakan pada 2 November lalu.
"Kalau terungkap berarti kan sudah ada buktinya, itu buktinya belum ada," kata karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, kepada wartawan, Senin (9/11).
Dengan tidak adaya bukti permulaan yang cukup, terlebih tidak adanya pengakuan para tersangka saat dilakukan pemeriksaan, sehingga tidak tertuang di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maka Polri tidak menelusuri dugaan tersebut.
Awi menekankan, bahwa setiap pengakuan yang diterima oleh penyidik dalam proses pemeriksaan, akan ditindaklanjuti untuk menemukan bukti-bukti yang menguatkan.
"Selama tidak ada bukti permulaan yang cukup, gimana kami mau telusuri. Kan harus dibuktikan omongan itu, ini kan sepihak-sepihak gitu," ucap dia.
Sejauh ini, kata Awi, penyidik menemukan fakta bahwa terdapat sejumlah aliran dana yang diberikan Djoko Tjandra untuk membantu dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum menyatakan Napoleon akan memberikan uang yang diterima dari mengurus penghapusan red notice Djoko Tjandra kepada petinggi Polri.
"Dia mengatakan, 'Ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik Ji jadi 7 (tujuh). Soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau (petinggi kita ini)," kata Jaksa Erianto di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin, 2 November 2020.
Dalam perkara ini, JPU mendakwa Napoleon telah menerima uang sebesar SGD$ 200 ribu dan US$ 270 ribu dari Djoko Tjandra. Uang tersebut sebagai imbalan lantaran Napoleon berhasil membuat nama Djoko Tjandra terhapus dari sistem ECS pada Sistem Informasi Keimigrasian.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.