Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pakar HTN: Putusan MK Soal Larangan Wamen Rangkap Jabatan Tepat Dan Final

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/idham-anhari-1'>IDHAM ANHARI</a>
LAPORAN: IDHAM ANHARI
  • Selasa, 08 September 2020, 11:24 WIB
Pakar HTN: Putusan MK Soal Larangan Wamen Rangkap Jabatan Tepat Dan Final
Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid/Net
rmol news logo Pendapat Staf Khusus Presiden bidang Hukum, Dini Purwono mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan rangkap jabatan seorang wakil Menteri adalah kurang tepat.

Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid mengatakan, putusan MK tersebut bukan merupakan pendapat tapi lebih pada putusan dan hal itu sudah final dan mengikat. Fahri meluruskan pendapat sang sataf khusus.

"Stafsus Presiden (Dini Purwono) tidak komprehensif dalam membaca dan memahami hakikat putusan MK dalam konteks bagaimana eksplanasi filsafati, teoritisi dan praktis mengenai kekuatan mengikat pertimbangan hukum putusan MK. Karena beliau hanya melihat putusan MK sekedar pada amarnya saja, Sehingga tidak utuh dalam memahami pesan konstitusional serta kaidah yang terdapat dalam tafsir hakim MK berkaitan dengan larangan rangkap jabatan oleh Wamen itu," ujar Fahri dalam keterangan tertulis, Selasa (8/9).

Menurut Fahri, putusan MK tersebut tak dapat diganggu gugat karena MK sudah mempertimbangkan sebelum memutuskan gugatan Pasal 10 UU 39/2008 yang diajukan Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Bayu Segara dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Noval Lailathul Rizky tersebut.

Disebutkan Fahri, dalam pertimbangan putusan itu MK telah menegaskan bahwa Wamen adalah pejabat negara. Karena itu, Wamen tidak boleh rangkap jabatan baik sebagai komisaris BUMN atau jabatan lain sebagaimana larangan rangkap jabatan berlaku bagi bagi menteri seperti diatur UU Kementerian Negara

"Artinya hakim MK telah melakukan tafsir secara otoritatif atas permasalahan tersebut. Dengan demikian menjadi wajib untuk Presiden melaksanakan putusan itu, sesuai mandat konstitusional yang dikirimkan oleh MK dalam putusan 'a quo'  itu tanpa ada pengecualian," katanya.

Karenanya, Fahri secara prospektif Presiden dan atau Menteri BUMN wajib segera mencopot posisi Wamen yang menduduki jabatan Komisaris di BUMN yang dijabat oleh Wamen. Hal ini mulai berlaku sejak putusan MK pada 27 Agustus lalu. Dengan demikian, Wamen bisa fokus membantu Menteri dalam menjalankan tugas-tugas kontitusionalnya sesuai putusan MK.

Sebab, secara konstitusional, pertimbangan hukum yang terdapat dalam putusan MK adalah mengikat karena hal tersebut barangkat dari penalaran hakim konstitusi tentang proses penafsiran atas fakta-fakta dan hukum dalam fungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (ultimate interpreter).

Dengan begitu, pertimbangan hukum MK dalam perkara ini sepanjang mengenai larangan rangkap jabatan Wamen sama seperti larangan kepada Menteri sesuai ketentuan pasal 23 UU Kementerian Negara secara yuridis sejalan dengan ketentuan pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU MK, yang mana ditegaskan bahwa putusan MK mencakup pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

"Dalam terminologi putusan, dasar atau alasan pengadilan untuk memutus disebut sebagai 'ratio decidendi' atau legal 'reasoning' dalam makna yang mengikat sehingga hukum menjadi tertib dan diterapkan secara utuh 'uitputtend'. Dengan demikian berdasarkan mandat konstitusional dalam pertimbangan hukum MK itu, hal ini menjadi kaidah yang harus diikuti serta bercorak wajib," tandasnya.

Lebih lanjut, Fahri menambahkan bahwa larangan seorang Wamen merangkap jabatan yang diputuskan MK patut diapresiasi karena yang mengangkat Wamen adalah Presiden sesuai kebutuhan. Maka dari itu, jabatan Wamen tetap dianggap konstitusional sebagaimana termuat dalam Putusan MK No. 79/PUU-IX/2011. Namun demikian, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah melarang Wamen merangkap jabatan lain sebagaimana ketentuan larangan yang berlaku pada menteri.  

"Dalam putusan itu, MK putuskan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan a quo. Dan dalam pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, serta amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima, hal demikian berdasar pada Putusan MK Nomor: 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada tanggal 27/08/2020," paparnya.

Fahri menjelaskan Pasal 10 UU 23/2008 menyebutkan "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu". Di sini, kata Fahri, Mahkamah berpendapat pengangkatan Wamen boleh dilakukan oleh Presiden, terlepas diatur atau tidak diatur dalam UU Kementerian Negara.

Sebab, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD NRI Tahun 1945. Dan mengenai kedudukan Wamen, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan amar putusan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. 

Dijelaskan Fahri, MK mengatakan, Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas. Mahkamah menegaskan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 10 UU Kementerian Negara telah selesai dan tidak terdapat alasan baru yang dapat mengubah pendirian Mahkamah yang dimaksud. Karena itu, berkenaan dengan dalil-dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 39/2008 tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan;

Pertimbagan hukum MK sebagaimana terdapat pada halaman 97 putusan tersebut, Fahri menegaskan MK memandang penting bagi Mahkamah menegaskan fakta yang dikemukakan para pemohon mengenai tidak adanya larangan jabatan Wamen yang mengakibatkan Wanen dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta.

Terkait fakta itu, katanya, sekalipun Wamen membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, tapi karena pengangkatan dan pemberhentian Wamen merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian Menteri, maka Wamen haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana status yang diberikan kepada Menteri.

"Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi Wamen dan pemberlakuan demikian dimaksudkan agar Wamen fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat Wamen di kementerian tertentu," demikian Fahri Bachmid. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA