Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kepres Pemecatan Evi Novida Dibatalkan PTUN, Pakar Hukum UI: Ini Membuktikan Putusan DKPP Keliru

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Jumat, 24 Juli 2020, 12:46 WIB
Kepres Pemecatan Evi Novida Dibatalkan PTUN, Pakar Hukum UI: Ini Membuktikan Putusan DKPP Keliru
Evi Novida Ginting/Net
rmol news logo Keputusan Presiden 34/P 2020 tentang pemecatan Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Berdasarkan dokumen putusan yang terdapat di sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PTUN, dinyatakan bahwa pengadilan mengabulkan gugatan Evi untuk seluruhnya, dan juga menyatakan Keppres terkait pemecatan Evi batal demi hukum.

Selain itu, PTUN juga memerintahkan agar Keppres tersebut dicabut dengan selanjutnya meminta Presiden memulihkan nama baik dan kedudukan Evi sebagai Komisioner KPU.

Atas putusan tersebut, pakar hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso menilai putusan PTUN yang membatalkan Keppres pemecatan Evi Novida menunjukkan kekeliruan yang dilakukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Dengan keluarnya putusannya PTUN ini membuktikan bahwa putusan DKPP itu keliru," ujar Topo Santoso dalam siaran pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (24/7).

Alasannya, DKPP tidak tepat menjadikan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) penetapan caleg DPRD Partai Gerindra dari Dapil Kalimantan Barat 6, sebagai pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Karena menurut Topo, keputusan KPU menetapkan Caleg Gerindra bernama Cok Hendri Ramapon telah sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019.

Sementara, DKPP menjadikan putusan Bawaslu RI 83/LP/PL/ADM/RI/00.00/VIII/2019 tertanggal 02 September 2019 sebagai pertimbangan memecat Evi Novida Ginting.

"Ibu Evi bagian dari komisioner, bukan keputusan pribadi, kemudian yang dilaksanakan KPU melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam tahapan pemilu. Sebetulnya itu bukan suatu persoalan etika. Itu bukan kewenangan DKPP, sehingga DKPP keliru mengambil keputusan," terangnya.

Oleh karena itu, mantan Dekan Fakultas Hukum UI ini meminta DKPP untuk berhati-hati lagi ke depannya untuk mengangkat satu perkara, apakah terkait dengan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu atau tidak.

"Kedepan DKPP harus hati-hati dalam menutus perkara kode etik. Mana kode etik, mana yang bukan, karena KPU menjalankan keputusan menurun undang-undang. Jadi jangan sampai keputusan KPU dalam melaksanakan tugas, kalau tidak disepakati oleh pihak lain (Bawaslu), dianggap lalu pelanggaran kode etik, tidak bisa begitu," paparnya.

"Arti yang lain, KPU harus lebih dihormati lagi otoritasnya dalam menjalankan seluruh tahapan. Walaupun seluruh anggota KPU punya jabatan koordinator, tapi semua keputusan diambil secara kolektif kolegial," demikian Topo Santoso menambahkan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA