Begitu tegas Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dalam siaran persnya kepada media, Kamis (9/7).
“Lewat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi Pemerintah Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan ekstradisi Maria Pauline Lumowa dikabulkan," tegasnya.
Lebih lanjut, menteri asal PDIP itu menjelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antar kedua negara atau resiprositas yang turut melancarkan proses ekstradisi Maria.
Dia menjelaskan bahwa pada tahun 2015 lalu, Indonesia berhasil mewujudkan keinginan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev.
Singkatnya, Yasonna ingin menegaskan bahwa ekstradisi ini merupakan hasil dari komitmen pemerintah dalam upaya penegakan hukum yang berjalan panjang. Di mana pemerintah telah meminta percepatan proses ekstradisi terhadap Maria setelah Maria ditangkap NCB Interpol Serbia pada Juli 2019 lalu.
Maria Pauline Lumowa adalah salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun lewat Letter of Credit (L/C) fiktif pada tahun 2002 hingga 2003 lalu.
BNI mencairkan dana pinjaman sebesar 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 triliun dengan kurs saat itu perusahaan Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu, PT Gramarindo Group.
Kuat diduga kucuran ini tidak lepas dari bantuan "orang dalam" karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp. Padahal bank-bank itu bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Puncaknya, pada Juni 2003 BNI merasa curiga dengan transaksi PT Gramarindo Group. Didapati bahwa perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.
Namun demikian, saat dugaan L/C fiktif ini dilaporkan ke Mabes Polri, Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum jadi tersangka.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.