Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kuasa Hukum Terdakwa Rahardjo: Dakwaan Jaksa KPK Dalam Kasus Bakamla Salah Alamat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Jumat, 19 Juni 2020, 22:25 WIB
Kuasa Hukum Terdakwa Rahardjo: Dakwaan Jaksa KPK Dalam Kasus Bakamla Salah Alamat
Terdakwa Rahardjo Pratjihno/Net
rmol news logo Dakwaan jaksa KPK dalam perkara dugaan korupsi proyek Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016 yang menjerat Direktur Utama (Dirut) PT CMI Teknologi, Rahardjo Pratjihno dianggap ngawur dan batal demi hukum.

Hal itu disampaikan tim kuasa hukum Rahardjo Pratjihno saat menjalani sidang eksepsi pada Senin kemarin (15/6).

"Kami selaku penasehat hukum berpendapat bahwa surat dakwaan JPU harusnya batal demi hukum, karena tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap rumusan unsur-unsur pidana berdasarkan pasal yang didakwakan dan tidak menguraikan perbuatan materil yang didakwakan," ucap Saut Edward Rajagukguk kepada wartawan, Jumat (19/6).

Menurut Saut, jaksa KPK harus membatalkan dakwaan karena dinilai banyak kesalahan fatal. Diantaranya, jaksa salah menyebut nama perusahaan kliennya tersebut.

"JPU ini salah alamat atau bukan klien kami yang dituju dan itu termasuk fatal, ngawur. Dalam dakwaan klien kami disebut Direktur PT Compac Microwave Indonesia Tehnologi yang disingkat PT CMI Tehnologi," jelas Saut.

Dari kesalahan itu, sambung Saut, berdampak pada ketidaksesuaian bukti dan fakta persidangan. Sebab, dalam kontrak dengan Bakamla tidak ada nama PT Compac Microwave Indonesia Tehnologi.

Selain itu, terdakwa juga tidak pernah mengaku sebagai Dirut PT Compac Microwave Indonesia Tehnologi. "Kalau bukti yang sudah disampaikan di persidangan tidak sesuai dengan dakwaan kan jadi aneh. Ini ada apa sebenarnya? Jjangan sampai klien kami dijadikan korban," terang Saut.

Selain itu, Saut juga mengungkapkan bahwa kliennya diklaim tidak ada niat untuk menjadi pemenang proyek di Bakamla tersebut karena selama ini, BIIS (program monitoring dan analisa) yang merupakan Puskodal-nya Bakamla tidak memiliki platform.

Sehingga, Bakamla terpaksa harus menyewa dari pihak swasta atau perusahaan lain. Belakangan, Bakamla tidak memperpanjang kontrak BIIS dengan perusahaan tersebut. Karana itu, Bakamla menggunakan BCCS, sehingga Puskodal Bakamla memiliki BIIS yang baru, yakni IMC-2-S (Integrated Monitoring Command and Control System) untuk menjaga keamanan laut. Terlebih kerap terjadi konflik di perairan Natuna dan di area ZEE (Zona ekonomi Ekslusif) Indonesia yang harus dijaga Bakamla.

"Nah, sebagai alat penjaga keamanan, IMC2-S akan dipasang IFF (Identification Frend of Foe) dan karenanya IMC2-S dalam dunia peperangan modern merupakan bagian dari Network Centrix Warfare (NCW). Karena ini termsauk alat pertahanan dan keamanan. Dan itu ada dalam UU 16/2012 Pasal 67 dan sanksi pidananya diatur dalam Pasal 72 UU 16/2012," jelas Saut.

Kemudian dalam Pasal 6, Pasal 8 Ayat 1-c dan Pasal 43 Ayat 1 dan Ayat 8 UU 16/2012 mengatur kedudukan pengguna (Bakamla) dan industri Pertahanan (PT CMI Teknologi) dalam hal merumuskan spesifikasi alat peralatan pertahanan dan keamanan dalam hal ini BIIS baru tersebut.

Saut melanjutkan, BIIS baru atau IMC2-S inil menjadi salah satu program Interoperability Kemhan yang menyatukan seluruh Puskodal bidang Keamanan Indonesia dibawah operasi Mabes TNI.

"Karena itu, pengadaan BCSS harus tunduk pada ketentuan yang diatur dalam UU 16/2012. Artinya, PT CMI Teknology bekerja sesuai yang diamanatkan dalam UU 16/2012 bahwa proyek ini harus seizin pihak Kemenhan. Jadi bagaimana bisa PT CMI Teknologi punya niat jadi pemenang kontrak kalua semua harus tunduk pada hukum yang mengaturnya?" tuturnya.

Menyinggung soal kerugian negara yang didakwakan jaksa KPK, menurut Saut hal itupun ngawur. Sebab, IMC2-S yang dinikmati Bakamla memiliki harga yang jauh lebih murah dari barang sejenis yang diimpor dari negara lain.

"Produk sejenis dengan diagran dan kapasitas sama yang diimpor itu harganya tiga kali lipat lebih mahal. Nah, kalau begini kerugian negaranya dimana?,” ujar Saut.

Terlebih, kata Saut, pihak BPKP Bandung yang menjadi auditor negara, ternyata tidak pernah memeriksa PT CMI Teknologi atau terdakwa. Padahal obyek yang diperiksa BPKP Bandung adalah PT CMI Teknologi.

Di sisi lain, Saut juga pertanyaan kewenangan BPKP menyatakan adanya kerugian negara. Sebab, dalam Surat Edaran (SEMA) Mahkamah Agung 4/2016 tentang pemberlakuan hasil rapat pleno kamar MA Tahun 2016 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan.

"Bahwa instansi yang berhak menyatakan adanya kerugian atau tidak ada itu hanya BPK, bukan BPKP. Jadi ini juga jadi keanehan buat kami, kasus ini dipaksakan," tutup Saut. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA