Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Merasa Ditipu, Saeful Bahri: Wahyu Setiawan Seperti “Memanah Di Atas Kuda”

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 14 Mei 2020, 14:51 WIB
Merasa Ditipu, Saeful Bahri: Wahyu Setiawan Seperti “Memanah Di Atas Kuda”
Saeful Bahri (berbaju merah dalam layar TV) saat menjalani sidang secara virtual/RMOL
rmol news logo Kader PDIP, Saeful Bahri yang juga terdakwa perkara dugaan suap terkait pergantian anggota DPR RI terpilih 2019-2024 menyampaikan nota pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan dan disampaikan Saeful Bahri di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini diberi judul "Demokrasi Versus Politik Hukum KPU".

Awalnya, Saeful Bahri menyampaikan pendahuluan yang berisi soal sistem pemilu di Indonesia dan dilanjutkan dengan kronologi kasus yang menjeratnya.

Dalam kesimpulan pledoi yang disampaikan, Saeful Bahri  menilai bahwa tersangka Wahyu Setiawan selaku Komisioner KPU telah melakukan penipuan terhadap dirinya, Agustiani Tio Fridelina, dan Harun Masiku yang juga merupakan kader PDIP.

Saeful menyebut memahami bahwa KPU adalah organisasi yang bersifat kolektif kolegial. Sehingga setiap hal yang akan diputuskan harus dibahas dan disetujui mayoritas komisioner melalui mekanisme rapat pleno.

"Dengan demikian, jika memang permintaan dana operasional itu bukan berasal dari pihak KPU, melainkan dari pribadi Bapak Wahyu Setiawan, apakah masih relevan kejadian ini dinyatakan sebagai suap? Karena Pak Wahyu nyata-nyata tidak memiliki kewenangan apapun, kecuali diputuskan bersama-sama dengan komisioner lainnya," jelas Saeful Bahri, Kamis (14/5).

Apalagi kata Saeful, berdasarkan fakta persidangan bahwa Wahyu Setiawan tidak pernah melakukan upaya lobby terhadap komisioner lainnya dan tidak pernah memperjuangkan permohonan DPP PDIP di dalam rapat pleno KPU.

Selain itu, Wahyu Setiawan bahkan berhadapan dengan para tersangka lainnya dalam kasus ini dan memberikan paraf persetujuan rancangan atau draft surat penolakan KPU.

"Fakta-fakta persidangan di atas telah menunjukkan secara terang benderang kepada kita semua bahwa yang terjadi sebenarnya adalah Pak Wahyu sedang “memanah di atas kuda”. Pak Wahyu sadar bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, kecuali harus secara kolektif melalui rapat pleno," jelas Saeful.

Wahyu Setiawan, kata Saeful, hanya berharap mayoritas Komisioner KPU mengabulkan permohonan DPP PDIP di dalam rapat pleno KPU.

"Sehingga dia tinggal mengikuti arusnya saja. Dengan demikian, uang Rp 1 miliar itu dapat digunakan sendiri oleh Pak Wahyu," kata Saeful.

Saeful pun membeberkan fakta-fakta tindakan “memanah di atas kuda” yang dilakukan oleh Wahyu Setiawan.

Pertama, Wahyu telah bercerita kepada Agustiani Tio Fridelina bahwa dia telah berbohong kepada Saeful dan Donny Tri Istiqomah selaku tim hukum DPP PDIP. Wahyu mengaku bahwa dia telah dipukuli habis-habisan oleh semua komisioner karena telah memperjuangkan permohonan DPP PDIP.

"Padahal faktanya adalah tidak sama sekali. Tujuannya adalah agar saya dan saudara Donny tetap percaya dan yakin kepada saudara Wahyu," terang Saeful.

Kedua, kata Saeful, Wahyu atas saran Agustiani Tio terbukti memiliki itikad tidak baik karena membatalkan pertemuan Donny dengan Hasyim Asyari selaku Komisioner KPU lainnya untuk membahas kajian hukum bersama, karena dikhawatirkan Donny akan menanyakan dana operasional kepada Hasyim, sehingga keberadaan dana operasional nantinya akan terbongkar.

"Ketiga, karena memanah di atas kuda gagal, Pak Wahyu sempat curhat kepada saudara Donny dalam pertemuan tanggal 7 Januari 2020 berniat ingin mengembalikan dana yang telah terlanjur ia terima karena pleno KPU ternyata menolak," beber Saeful.

Dengan demikian, Saeful berkesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wahyu Setiawan merupakan perbuatan penipuan terhadap dirinya hingga terseret dalam perkara ini.

"Majelis Hakim yang saya muliakan, berdasarkan uraian dan fakta-fakta hukum tentang 'memanah di atas kuda' di atas, saya menjadi yakin bahwa apa yang dilakukan Pak Wahyu tersebut ternyata bohong. Kebohongan itu telah merugikan saya dan menempatkan saya sebagai korban, sehingga apakah tidak seyogyanya perbuatan Pak Wahyu lebih tepat dikategorikan sebagai delik penipuan?” tanyanya.

“Karena sekali lagi secara kasat mata saya telah diperdaya oleh Pak Wahyu dengan kebohongan yang telah diciptakan oleh beliau sehingga saya menjadi korban," demikian Saeful Bahri. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA