Diketahui, Saeful Bahri dituntut 2,6 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Tuntutan yang tidak maksimal dalam konteks perkara suap KPU ini justru menggambarkan sesuatu yang ironis. Korupsi yang terjadi di pusat
locus korupsi politik dalam hal ini
locus rejruitmen politik, justru (hukumannya) tidak maksimal," kata pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (8/5).
Tuntutan tersebut juga dinilai menggambarkan upaya pemberantasan korupsi di ranah politik tidak maksimal. Di sisi lain, koordinasi antarpenegak hukum juga sama sekali tidak terlihat baik dalam kasus ini.
Selain itu, kata Abdul Fickar, tuntutan ringan terhadap Saeful Bahri tersebut juga menunjukkan bahwa tidak adanya koordinasi yang baik antara aparat penegak hukum korupsi.
Sebab, sektor penuntut umum seharusnya memberikan hukuman yang maksimal bila semangat pemberantasan korupsi benar-benar dicanangkan seluruh penegak hukum.
Hal ini juga sekaligus menjadi kritikan bahwa selama ini penegak hukum di Indonesia tidak memiliki standar dan visi yang jelas dalam membuat jera para koruptor.
"Jangankan membuat jera koruptor, yang terjadi bahkan berpengaruh terhadap keberanian orang untuk terus melakukan korupsi karena akhirnya korupsi bisa diproyeksi secara matematis berapa anggaran yang bisa dikeruk untuk korupsi, berapa anggaran yang harus dikeluarkan untuk pos-pos dalam proses hukum, sampai dengan menjalani hukuman," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: