"Ini perlu rasa empati dan penelusuran dari aspek psikolog dan lingkungan sosialnya. Bisa jadi dari penelusuran akan diketahui sekelam apa hidupnya, adakah kekerasan (
violence against children in the home and the family), trauma atau stres di lingkungannya," kata Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Senin (9/3).
Dari identifikasi itu pula, jelas Azmi, bisa jadi pelaku menumpuk kekecewaan pada orang terdekatnya dan sudah dialami sejak lama oleh pelaku.
"Ini perlu disisir oleh polisi, psikiater, termasuk bekerja sama dengan tim terpadu penangangan anak yang berhadapan dengan hukum," sambungnya.
Yang jelas, lanjut Azmi, perilaku menyimpang AGB tersebut bisa disebabkan beberapa faktor, antara lain komunikasi keluarga yang tersumbat, sikap abai orang tua terhadap perkembangan yang mengakibatkan sang anak tidak punya ruang dialog dalam menghadapi pertumbuhan.
Namun demikian, pertanggungjawaban hukum harus tetap dikenakan pada pelaku dengan mengacu pada UU Sistem Peradilan Anak, di mana pidana dapat dijatuhkan maksimal 10 tahun dan atau setengah dari hukuman pidana orang dewasa.
"Jadi tidak bisa dengan hanya melihat hasil semata berdasarkan faktor psikologis terus anak bebas dari hukuman. Pertanggungjawaban hukum harus dikenakan jika diketahui melakukan kejahatan tersebut dengan sadar dan sengaja," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.