Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kritik Pemerintah Daerah Lewat Tulisan, Wartawan Di Buton Tengah Dipenjara

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Senin, 10 Februari 2020, 13:03 WIB
Kritik Pemerintah Daerah Lewat Tulisan, Wartawan Di Buton Tengah Dipenjara
Ilustrasi/Net
rmol news logo Kritikan yang dilakukan seorang wartawan  terhadap pemerintah Kabupaten Buton Tengah dibalas dengan penangkapan. Proses pengadilan yang masih berlangsung pun tak sesuai dengan UU Pers dan MoU antara Dewan Pers dan Mabes Polri.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Moh Sadli Saleh (33) dijebloskan ke penjara karena mengkritik pemerintah setempat melalui tulisan yang dimuat Liputanpersadacom.

Sadli dilaporkan Bupati Buton Tengah, Samahudin, ke Polres Baubau dengan sangkaan pelanggaran UU ITE. Hingga kini Sadli telah tiga kali menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri Buton.

Ironisnya, Samahudin tak pernah sekali pun menghadiri panggilan sidang dalam status sebagai saksi pelapor. Samahudin justru diketahui mengikuti acara Hari Pers Nasional di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, meski sudah dipanggil untuk mengikuti sidang di hari yang sama.

Kritik Sadli kepada pemerintah Buteng bukan hanya memenjarakan dirinya. Istri Sadli, Siti Marfuah (34), juga ikut merasakan imbasnya.

Marfuah mengaku, setelah tulisan yang dipersoalkan itu terbit, ia pernah dipanggil oleh Sekretaris DPRD Buton Tengah tempatnya bekerja sebagai honorer. Ia diminta mengingatkan suaminya untuk berhenti memberitakan masalah simpang lima Labungkari.

Tanpa alasan yang jelas, pada September 2019, Marfuah dicoret sebagai penerima honor di Sekretariat DPRD Buton Tengah. Honor Rp 680 ribu berdasarkan SK Bupati Buton Tengah akhirnya disetop. Pengabdiannya sebagai tenaga honorer sejak 2015 berakhir.

Kasus yang menimpa Sadli bermula dari tulisannya di media daring Liputanpersadacom dengan judul "Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat". Tulisannya ini terbit pada 10 Juli 2019.

Setelah terbit, berita itu diunggah ke media sosial Facebook dan grup percakapan WhatsApp. Tulisan Sadli akhirnya sampai ke gawai Kepala Bagian Hukum Pemkab Buton Tengah, Akhmad Sabir, dan Kadis Kominfo Buteng, La Ota.

Kedua pejabat ini segera menghadap Bupati dan melaporkan tulisan Sadli. Mendapat laporan dari dua anak buahnya, Samahudin tampaknya murka. Ia memerintahkan keduanya untuk melaporkan kasus ini ke Mapolres Baubau, 27 Juli 2019.

Laporan itu diterima Kasat Reskrim Polres Baubau AKP Ronald Arron Maramis. Undangan klarifikasi segera dilayangkan kepada Sadli pada 4 September 2019. Sadli diminta hadir pada Senin 9 September 2019.

Setelah dua kali menjalani pemeriksaan, Sadli kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan berkas perkara Nomor BP/94/XII/2019 Reskrim tertanggal 11 Desember 2019. Bersamaan dengan itu laptopnya disita sebagai alat bukti.

Namun saat itu Sadli masih dizinkan pulang. Menurut istrinya, Siti Marfuah, Sadli hanya wajib lapor dan tahanan kota.

Saat menyandang tersangka, Sadli sempat mengikuti orientasi calon anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Baubau pada 15-16 Desember 2020. Sadli pun mendapatkan sertifikat yang ditandatangani pengurus PWI Sultra.

Sehari setelah orientasi PWI, pada 17 Desember 2019, Sadli dipanggil jaksa dan langsung ditahan di Rutan Baubau selama 20 hari, sampai 5 Januari 2020.

Pada 20 Januari 2020, kasus Sadli mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Pasarwajo. Berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Buton, Sadli didakwa melanggar pasal 45 A ayat 2 Jo pasal 28 ayat 2, pasal 45 ayat 3 jo pasal 27 ayat 3 UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sidang kedua, Kamis (30/1), menghadirkan Kadis Kominfo ButonTengah La Ota dan Kabag Hukum Setda Buton Tengah Akhmad Sabir.

Dalam keterangan mereka di hadapan majelis hakim, pelaporan terhadap Sadli atas perintah Bupati Buton Tengah. Majelis hakim pun memerintahkan JPU untuk menghadirkan Samahuddin selaku Bupati Buton Tengah.

Pada sidang ketiga, Kamis (6/2), seharusnya diagendakan untuk mendengarkan keterangan pelapor, dalam hal ini Samahuddin. Namun, Bupati Buton Tengah itu mangkir. Ironisnya, dia malah ikut merayakan Hari Pers Nasional (HPN) di Banjarmasin.

MoU Dewan Pers-Mabes Polri

Pelaporan terhadap Sadli oleh Bupati Buton Tengah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Juga mengabaikan Nota Kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers.

Dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pada BAB V Dewan Pers Pasal 15 ayat 2 poin d, Dewan Pers melaksanakan fungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengadilan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Dengan artian, harusnya Bupati Buton Tengah melaporkan sengketa pers ini ke Dewan Pers sebagai pihak yang berhak menilai karya jurnalistik Sadli.

Hal ini juga dikuatkan dalam MoU antara Dewan Pers dan Mabes Polri. Pada BAB III bagian kedua tentang Koordinasi di Bidang Perlindungan Kemerdekaan Pers Pasal 4 poin 2, apabila Polri menerima pengaduan dugaan perselisihan atau sengketa termasuk surat pembaca, atau opini/kolom, antara wartawan/media dengan masyarakat, polisi mengarahkan yang berselisih atau pengadu melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Dewan Pers, maupun proses perdata.

Nah, dalam kasus yang menimpa Sadli, tidak melewati tahapan yang dimaksud. Penggunaan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke pihak polisi, maupun proses perdata, tidak dilakukan oleh pihak pelapor dalam hal ini Bupati Buton Tengah.

Kemudian, pelaporan terhadap Sadli oleh Samahuddin juga bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-XIII/2015 tahun 2015 tentang Yudisial Review pasal 319. Disebutkan, bahwa penghinaan terhadap pejabat negara dihapus, maka kedudukan pejabat negara setara dengan masyarakat, dimana pasal tentang penghinaan pejabat negara adalah delik aduan.

Dengan demikian, apabila ada pejabat negara merasa dihina harus melaporkan sendiri secara pribadi. Bisa juga dikuasakan kepada penasihat hukumnya, tentunya dengan biaya pribadi.

Untuk itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari pun mendesak:
1. Penegak hukum segera menghadirkan Bupati Buteng, Samahudin, ke pengadilan.
2. Bupati Buteng menghormati Undang-undang Pers dan penegak hukum.
3. Dalam sengketa jurnalistik, penegak hukum menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
4. Hapuskan pasal karet dalam UU ITE
5. Polda Sultra untuk mensosialisasikan MoU Dewan Pers dan Mabes Polri ke jajaran di bawahnya.
6. Dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, jurnalis wajib mematuhi ketentutan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan taat pada Kode Etik Jurnalis.
7. Istri Sadli, tidak ada kaitannya dengan tulisan Sadli sehingga tidak ada alasan untuk memecatnya sebagai tenaga honorer di sekretariat DPRD Buton Tengah.

Saat tulisan itu terbit, Sadli tercatat sebagai Pemimpin Redaksi Liputanpersadacom dengan nama perusahaan PT Global Media Nusantara. Perusahaan ini memiliki akta notaris Nomor 20 tanggal 30 April 2005. Nomor AHU C-01590 HT 01 Tahun 2016, TDP Nomor 1011 1521 1277, NPWP 02.480.9337.7-423.000.

Perusahaan ini dipimpin oleh Wira Pradana yang kantornya beralamat di Jalan Musyawarah B 54 RT 005/RW 002, Kebun Jeruk, Jakarta Barat. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA