Sidang itu berkaitan dengan kasus kerusuhan saat unjukrasa pada 30 September 2019 di gedung DPR. Lutfi dituntut 4 bulan penjara karena jaksa meyakini pria berusia 20 tahun itu telah melakukan perbuatan melawan polisi saat demonstrasi berlangsung.
Bagi Dosen Unversitas Bung Karno (UBK) Azmi Syahputra tuntutan yang dilayangkan jaksa pada Lutfi sangat dipaksakan. Tuntutan itu sekaligus menjadi penegasan bahwa penegak hukum belum menerapkan kehendak UU dengan baik.
“Karena dengan menerapkan dakwaan alternatif, sebenarnya ada ketidakpastian tindak pidana mana yang paling tepat dilakukan terdakwa. Padahal semestinya perkara diterima oleh jaksa haruslah teliti, lengkap, dan jelas unsurnya dan pembuktiannya,†tegas Azmi kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (30/1).
Dalam kasus ini, Lutfi didakwa dengan pasal 212 jo pasal 214 KUHP atau pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 218 KUHP.
Pasalopasal yang disusun berlapis cenderung hanya bertujuan untuk menahan pelaku. Padahal fakta hukumnya, peristiwa perbuatan yang terjadi tidak demikian dan jaksa hanya menuntut dengan pasal 218 KUHP.
Di sinilah, kata dosen hukum pidana itu, penyimpangan hukum dan penyalahgunaan alat hukum sebagai kekuasaan terjadi. Sebab sejak awal memang pasal yang tepat adalah 218 KUHP, bukan pasal kekerasan atau penganiyaan sebagaimana diatur dalam pasal 212 Jo pasal 214 (ayat 1) jo pasal 170 KUHP. Karena, sambungnya, kejadian ini terjadi pada situasi demo (unras).
“Pasal 218 KUHP dimungkinkan bagi pelaku karena sudah melampaui batas waktu demo dan sudah dilakukan permintaan imbauan petugas berkali-kali agar pelaku untuk segera membubarkan diri,†urainya.
Namun demikian, ancaman pidana pada pasal ini maksimal hanya empat bulan, sehingga pelaku tidak dapat ditahan. Ini yang kemudian menjadi benang merah bahwa perkara Lutfi dipaksakan semata untuk penahanan.
Karena jika mengacu pada pasal 14a KUHP, perkara ini kategori ringan. Andai kasus dibawa ke persidangan dan terbukti, maka hakim akan menjatuhkan hukumannya adalah pidana percobaan karena ancaman pidana maksimal kurang dari satu tahun.
“Sehingga melihat fenomena atas kasus ini, perlu dikoreksi dan jadi bahan masukan dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP) ke depan agar penyidik dan jaksa penuntut umum tidak diperkenankan memaksakan pasal yang disangkakan, dengan target agar tersangka dapat ditahan. Ini bertentangan dengan hak hukum seseorang dan hak asasi manusia,†pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.