Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pakar: Dukungan Publik Jangan Bikin KPK Terlena Dan Salah Melakukan Proses Hukum

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-kiflan-wakik-1'>AHMAD KIFLAN WAKIK</a>
LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK
  • Kamis, 16 Januari 2020, 15:50 WIB
Pakar: Dukungan Publik Jangan Bikin KPK Terlena Dan Salah Melakukan Proses Hukum
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi/Net
rmol news logo Dukungan yang diberikan masyarakat Indonesia kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jangan membuat lembaga antrasuah terlena dan keliru dalam melakukan proses hukum.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
 
Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menyebut bahwa KPK selama ini selalu mendapatkan dukungan penuh dari publik. Dampaknya, bisa dinilai baik positif maupun negatif.

Walaupun lembaga antirasuah tersebut mempunyai kemungkinan salah menetapkan tersangka, kata dia, dukungan publik pun tak pernah surut.

Akibatnya, pengadilan kadang juga dinilai tutup mata dengan kesalahan yang dilakukan KPK seiring besarnya perhatian publik.

“Secara materiil sebenarnya potensi salah (menetapkan tersangka) itu ada, cuma kemudian kan atmosfer politik, atmosfer hukumnya itu mendukung. Sehingga apa yang dilakukan oleh KPK itu dianggap benar dan itu diamini oleh pengadilan,” kata Suparji, Kamis (16/1).

Suparji berharap masyarakat dan pengadilan tidak memberikan dukungan tanpa syarat kepada KPK. Apalagi pengadilan seharusnya memang harus fair dalam menilai perkara, khususnya fakta-fakta persidangan.

Dia melihat saat ini pengadilan mulai terlihat berani keluar dari atmosfer tersebut dan berani membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan KPK. Terbukti ada beberapa kasus dimana KPK kalah dalam pengadilan.

“Tetapi kan ada pergeseran kesadaran hukum, pergeseran keberanian, pergeseran atmosfer. Akhirnya pengadilan berani mengambil keputusan yang progresif dengan mengacu pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan,” jelasnya.

Suparji juga meminta KPK untuk cermat dalam melakukan pembuktian. Tidak bisa hanya mengandalkan praduga dan dugaan bahwa seseorang telah menerima suap, namun harus ada bukti materiil.

Dalam penegakan hukum, kata dia, bukti harus lebih didahulukan daripada dugaan. Misalnya tidak bisa pertemuan dianggap membuktikan terjadinya suap-menyuap.

“Pembuktian dalam Bahasa Jawa tidak bisa otak atik gathuk. Misalnya seseorang datang ke sini terus kemudian ada pertemuan setelah itu dianggap terjadi kejahatan bahkan dianggap ikut membantu padahal itu belum tentu,” demikian Suparji. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA