Menurut anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, hukuman berat tersebut juga sekaligus sebagai upaya pencegahan korupsi.
“Ya jadi ada dua situasi korupsi bisa dihukum mati, di satu sisi juga ada upaya mengevaluasi apakah hukuman kejahatan korupsi itu bisa memberikan dampak jera terkait dengan upaya pencegahan korupsi,†ujar Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12).
Untuk saat ini, hukuman maksimal yang dikeluarkan KPK diakuinya belum memberikan efek jera. Padahal selama ini lembaga antirasuah rajin melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Namun sayangnya, tindakan tersebut tak berefek signifikan.
“Hari ini kalau kita mau jujur ternyata tidak memberikan efek jera, OTT berulangkali dilakukan, tidak memberikan dampak,†katanya.
Dari hasil pemaparan KPK beberapa kali kepada Komisi III, para pelaku korupsi sering melakukan penyuapan. Dari sinilah lembaga antirasuah seharusnya mampu menutup celah tindakan penyuapan.
“Kasus suap itu adalah kasus yang paling banyak dan paling besar yang kemudian mengungkap kejahatan atau peristiwa-peristiwa lainnya,†terangnya.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menyinggung soal hukuman mati bagi koruptor yang bisa saja diterapkan jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat. Penerapan tersebut dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam UU Tipikor melalui mekanisme revisi di DPR.
Namun hal ini justru dianggap keliru lantaran sudah tercantum dalam UU Tipikor.
"Sebenarnya hukuman mati bagi koruptor itu sudah diatur juga dalam UU tindak pidana korupsi, jadi tidak harus kemudian apa kalau dikehendaki oleh masyarakat. Pak Jokowi menurut saya keliru, kalau mengatakan hukuman mati itu berdasarkan kehendak masyarakat," tutup Nasir.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: