Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kekerasan Terhadap Wartawan Tidak Bisa Diselesaikan Hanya Dengan Maaf-maafan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Rabu, 09 Oktober 2019, 09:59 WIB
Kekerasan Terhadap Wartawan Tidak Bisa Diselesaikan Hanya Dengan Maaf-maafan
Syamsuddin Radjab/Net
rmol news logo Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Dr. Syamsuddin Radjab mengatakan kekerasan kepada jurnalis atau wartawan melawan konstitusi dalam Pasal 28F UUD 1945.

Pasal itu berbunyi, "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Apalagi, kekerasaan ini saat awak media melakukan pekerjaan sesuai dengan UU 40/1999 tentang Pers.

"Kekerasan terhadap kepada jurnalis itu seperti lebaran, setiap tahun ada kekerasan jurnalis dan penyelesaiannya adalah maaf-maafan," kata Syamsuddin menyayangkan, dalam diskusi terbatas jurnalis di Kota Makassar, Selasa kemarin (8/10).

Menurutnya, penyelesaian kekerasaan kepada jurnalis tidak pernah diselesaikan secara hukum atau undang-undang.

"Tak ada itu maaf-maafan dalam UU Pers karena setiap tahun ada kekerasan maka saya kuatirkan bisa menjadi pola penyelesaian kekerasan terhadap profesi jurnalis apalagi pelakunya diduga oknum kepolisian," tegas mantan ketua PBHI ini.

Syamsuddin menjelaskan pekerjaan wartawan yakni menyampaikan hak warga negara terkait hak atas informasi (right to information) dan hak untuk tahu (right to know).

"Tugas-tugas ini hanya satu profesi yang bisa menjalankan yakni jurnalis. Kalau polisi melakukan kekerasan kepada jurnalis maka itu adalah perlawanan terhadap konstitusi negara," ucapnya.

Karena itu, pada awal reformasi, pemerintah pusat setelah tergulingnya orde baru menghasilkan UU yang terkait dengan hak-hak sipil dan politik setelah 32 tahun terkekang, seperti UU 9/1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum (unjuk rasa), dan UU Pers sendiri.

"Kekerasan kepada jurnalis itu dapat dipidana 2 tahun dan denda Rp 500 juta sesuai ketentuan Pasal 18 UU Pers, jika aparat penegak hukum yang melakukan biasanya ditambah lagi," ujar Syamsuddin.

Kabid Propam Polda Sulsel Kombes Hotman C. Sirait sebelumnya mengatakan, pihaknya kesulitan untuk mengidentifikasi secara pasti siapa pelaku pemukulan tiga wartawan di Makassar, Selasa (24/9) saat meliput aksi unjuk rasa di depan Sekretariat DPRD Sulsel, Jl. Urip Sumoharjo.

Hotman mengungkapkan, papan nama oknum aparat yang melakukan pemukulan tersebut tertutup dengan tangan kerumunan sehingga sulit menentukan secara pasti polisi yang melakukan pemukulan.

Syamsuddin menganggap alasan itu mengada-ada dan proses di Propam itu internal, tak berkaitan dengan tindak kekerasan kepada jurnalis dalam proses pro justisia.

"Itu adalah sanksi internal kepolisian, tak ada hubungannya dengan masalah kekerasan yang bisa melanggar UU Pers dan KUHP," katanya.

Menurut Syamsuddin, alasan Hotman ini menyesatkan.

"Mereka bertugas ini sebagai anggota kepolisian, dan alasan ini bertentangan dengan hukum, mengidentifikasi pelaku dari unsur polisi atau TNI paling mudah, tinggal tanya siapa yang memukul wartawan tersebut. Dan kalau urusan internal biarkan mereka urus sendiri tapi penyelesaian tindak lanjut pidananya kawal di Reskrim saja melalui pendampingan teman-teman advokat," katanya.

Dengan demikian, pola penyelesaian harus melalui UU Pers, UU HAM, UU Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik dan KUHP sendiri.

"Ini harusnya melalui pengadilan, kita akan menguji bukti dan saksi tindak kekerasan di pengadilan. Saat terjadi kekerasan mereka bertindak atas nama institusi kepolisian, mereka yang bertugas meliput di sana atas nama jurnalis," katanya.

Masih menurut Syamsuddin, kekerasan kepada wartawan terjadi di beberapa daerah. Dia pun berharap agar penyelesaian tindak kekerasan kepada profesi wartawan, para korbannya berani dan mau dengan mekanisme pengadilan.

"Kalau ini terjadi di semua daerah maka ada pola yang sama. Kita tak membenci polisi ya, justru kita membantu agar kepercayaan publik kembali tumbuh tapi kasihan polisi kalau menyelesaikan masalah seperti ini, jika anggotanya terlibat terkesan mengabaikan tapi jika masyarakat cepat ditangani penegakan hukumnya," ucap Direktur Jenggala Center ini menutup komentarnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA