"Menyebarkan kebencian dengan menyampaikan sesuatu secara ilmiah dan berdasarkan data sudah sepatutnya dihadapi dengan dialektika. Bukan semena-mena dijerat pidana," kata Ketua Himpunan Pemerhati Hukum Siber Indonesia (HPHSI), Galang Prayogo dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (27/9).
Menurutnya, penetapan tersangka Dandhy bisa menjadi preseden buruk bagi aparat hukum yang kerap menggunakan UU ITE sebagai senjata menjerat aktivis. Hal ini pun dinilai sangat mengkhawatirkan.
"Penjeratan ujaran kebencian terhadap Dandhy bisa menjadi fenomena gunung es, kedepannya masyarakat akan bersikap pragmatis dan aparat tidak lagi dipercaya sebagai lembaga yang bijak dalan menerapkan UU," terangnya.
Pada dasarnya, kata Galang, UU ITE memang sudah menimbulkan kekhawatiran jauh sebelum undang-undang tersebut disahkan. Sifatnya yang umum dapat menimbulkan multitafsir dan berpotensi tidak memberikan keadilan pada masyarakat.
"Tapi kita percaya pada kebijaksanaan aparatur negara dalam menerapkan pasal ini. Jadi Pak Polisi, bijaklah dalam menerapkan UU ITE. Jangan sampai keadilan digadaikan demi situasi kondusif," tutupnya.
Dandhy Dwi Laksono, jurnalis dan sutradara film dokumenter
Sexy Killers ditangkap di kediamannya di Bekasi akibat cuitan Twitternya mengenai kisruh Papua.
Dandhy ditangkap karena diduga melanggar Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 No.1 tahun 1946 tentang hukum pidana.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.