"Jadi, ini merupakan lanjutan upaya saya atas permintaan otoritas terkait dalam menghentikan rencana transaksi penjualan saham Bank Permata Tbk oleh Standard Chartered Bank (SCB)," kata Rudy, di Jakarta pada Rabu (26/6).
Menurut Rudy, kasus dugaan penyelewengan pada pengambilalihan Bank Bali itu perlu diinvestigasi oleh KPK. Sebab ada indikasi proses transaksi pengambilalihan saham yang cacat hukum.
"Saya rasa ini momen yang baik bagi KPK untuk mengungkap adanya kerugiaan negara pada proses pegambil alihan saham oleh SCB. Sebenarnya negara tidak perlu mengalami kerugian sampai triliunan rupiah karena pada dasarnya Bank Bali ini sangat sehat, bahkan sejak krisis 1997-1998. Maka itu, keuangannya juga sangat likuid," kata Rudy.
Namun, lanjut Rudy, kondisi itu berubah terutama saat Bank Bali terjerumus menjadi Bank Rekap. Terlebih, waktu itu beberapa pejabat BI meminta untuk membantu bank yang kesulitan likuiditas.
Atas dorongan itu, sebutnya, Bank Bali mengucurkan pinjaman dana antar bank ke Bank Umum Nasional yang jumlahnya mencapai 1,3 triliun.
"Sebanyak Rp 946 miliar di antaranya tidak bisa ditagih. Di sini saya merasa dijerumuskan oleh oknum pejabat BI yang mendorong-dorong tadi. Akibatnya, saat itu terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank Bali harus ikut direkap senilai Rp 1,4 triliun," ungkap Rudy.
Selama program rekap, Bank Bali di bawah penanganan BPPN selalu menunjuk SCB untuk menangani dan menyehatkan. Pada praktiknya, SCB justru meminta BPPN untuk menjadikan Bank Bali BTO.
Rudy menjelaskan, dirinya kerap menemukan indikasi adanya konspirasi pejabat BPPN dan SCB selama proses BTO. Dari sini lah menurutnya negara mengalami kerugian biaya rekap mencapai Rp 11,9 triliun.
"Inilah yang saya maksud terjadi kerugiaan negara yang disebabkan konspirasi pejabat-pejabat BPPN dan SCB. Makanya, KPK harus bisa menyelidiki proses ini," katanya.
Lebih dari itu, kata Rudy, setelah direstrukturisasi dengan dana Rp 11,9 triliun, BPPN memberi kesempatan pada SCB untuk membeli saham bank merger hasil restrukturisasi senilai Rp 2,77 Triliun. Padahal, biaya rekap yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp 11,89 T.
"Artinya, penjualan saham Bank Permata menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 9,12 triliun. Ada satu bukti yang bisa dipakai untuk memulai memeriksa kasus ini. Dalam laporan keuangan SCB tahun 2006, terungkap ada satu note tentang kepemilikan SCB di Bank Permata, yakni
there are no capital commitments realated to the groups Investment in Permata," demikian Rudy.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.