Peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat mengatakan, pihaknya menyerukan agar diadakan penyelidikan secara independen, imparsial dan efektif terhadap dugaan penyiksaan dan perlakuan buruk pada aksi tersebut.
"Nah ini rekomendasi kita meminta adanya investigasi yang efektif, itu harus independen dan dari eksternal di institusi (kepolisian) yang diduga melakukan penyiksaan," ucap Papang kepada awak media di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (25/6).
Menurutnya, jika pihak kepolisian tidak melakukan investigasi terhadap pelaku penyiksaan yang dilakukan oknum Brimob, maka polisi dianggap telah melakukan pelanggaran HAM yang baru.
"Berdasarkan konferensi anti penyiksaan kalau ada dugaan penyiksaan terjadi dan polisi tidak melakukan investigasi itu juga dianggap bagian dari pelanggaran HAM yang baru," tegas Papang.
Selain itu, organisasi HAM ini juga menilai bahwa polisi masih menggunakan cara-cara penyiksaan saat membubarkan aksi demonstrasi yang dianggap telah melakukan kejahatan internasional.
"Kita tidak bilang polisi gagal dalam menangani unjuk rasa pada 21-23 Mei. Bukan tugas kami, kita tidak punya kemampuan menilai polisi gagal atau tidak. Tapi yang kita lihat dalam proses menjaga, menjamin ketertiban umum dan memberantas kejahatan yaitu pendemonstran yang melakukan kekerasan, polisi masih menggunakan metode yang sudah dikutuk oleh seluruh umat manusia karena itu kejahatan internasional itu namanya penyiksaan," ungkapnya.
Hal tersebut didesak lantaran pihak Amnesty International Indonesia telah menemukan tiga fakta adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oknum Brimob pada aksi 21-23 Mei. Tindakan yang dilakukan oknum Brimob dinilai telah melakukan pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana, aparat tetap melakukan kekerasan terhadap seseorang yang telah ditangkap dan sudah tidak berdaya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: