Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pembebasan Majikan Adelina Preseden Buruk Suburkan Impunitas

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Sabtu, 27 April 2019, 10:34 WIB
Pembebasan Majikan Adelina Preseden Buruk Suburkan Impunitas
Pemakaman Adelina Sau/Net
rmol news logo . Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan keprihatinannya mengenai keputusan yang dikeluarkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Malaysia yang membebaskan pelaku yang
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
melakukan kekerasan berujung kematian terhadap Adelina Sau.

Berikut kronologis kasus yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga Migran (PRT Migran) dari Nusa Tenggara Timur (NTT) Adelina Sau.

Adelina Sau (21 tahun) adalah PRT Migran asal Desa Abi Kecamatan Oenino, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), NTT yang bekerja di Malaysia. Dia meninggal dunia di Hospital Bukit Mertajam, Penang pada 11 Februari 2018. Dari keterangan BNP2TKI, kematiannya diduga akibat disiksa oleh majikannya.

Malaysia adalah negara tujuan Pekerja Migran Indonesia dengan kasus kematian pekerja Migran Indonesia yang tertinggi, dibandingkan dengan negara tujuan lain di seluruh dunia. Data BNP2TKI menunjukan bahwa selama tahun 2017 tercatat 217 kasus kematian PRT Migran yang meninggal dunia di luar negeri. Dari jumlah tersebut, 69 kasus (32 persen) terjadi di Malaysia. Kasus kematian Adelina merupakan dampak dari lemahnya perlindungan dua negara (baik Indonesia sebagai negara asal, maupun Malaysia sebagai negara tujuan) terhadap PRT Migran yang bekerja di ruang domestik, yang juga rentan sebagai korban perdagangan orang (human trafficking).

Putusan Pengadilan Tinggi Malaysia yang membebaskan terdakwa pelaku yaitu R Jayavartiniy (32 tahun) dan S. Ambika (59 tahun), adalah putusan yang menodai rasa keadilan bagi Adelina, keluarga, PRT Migran Indonesia, bangsa Indonesia maupun warga bangsa di ASEAN.

UU no 18 Tahun 2017 (Pasal 33) memandatkan Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, hukum negara tujuan
penempatan, serta hukum dan kebiasaan internasional.  Komnas Perempuan mengkhawatirkan putusan bebas kepada pelaku, membawa preseden buruk untuk menyuburkan impunitas para pelaku yang mengancam jaminan perlindungan dan keadilan bagi  buruh migran.

Untuk itu Komnas Perempuan melalui Komisioner Komnas Perempuan, Thaufiek Zulbahary mendesak beberapa hal.

Pertama, pemerintah Indonesia harus melakukan upaya desakan kepada Jaksa Penuntut (Deputy Public Persecutor) untuk mengajukan banding atau appeal, waktunya hanya dibatasi 14 hari.

Kedua, menelusuri lebih jauh tentang dimensi fair trial dalam proses peradilan dan putusan, antara lain apakah peradilan sudah menghadirkan bukti yang memadai dan saksi-saksi kunci yang independen, bebas dari tekanan, dan proses peradilan yang memperhatikan relasi kuasa antara pihak pelaku maupun saksi;

Ketiga, memperjuangkan dan memenuhi hak korban yaitu Adelina dan keluarganya, atas hak pemulihan termasuk kompensasi bagi keluarga, hak atas kebenaran serta hak atas keadilan.

Keempat, mendorong berbagai pihak, khususnya organisasi migran, CSO regional, NHRI di ASEAN  untuk membuat pelaporan tentang pelanggaran hak asasi migran yang akan diserahkan ke mekanisme HAM PBB saat Malaysia di-review di PBB, antara lain melalui mekanisme UPR (Universal Periodic Review), CEDAW dan lain-lain.

Kelima, mendorong mekanisme regional baik AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), ACWC (ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children), ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers) untuk bersikap dan melakukan langkah sistemik untuk pencegahan dan perlindungan khususnya mencegah impunitas pelaku kejahatan kepada buruh migran perempuan.

Keenam, pemerintah Indonesia dan negara-negara ASEAN untuk menjalankan komitmen dan mengimplementasikan ACTIP (The ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children), ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dan GCM (The Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration).

Ketujuh, menyegerakan perlindungan komprehensif dengan melaksanakan UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dengan menerbitkan aturan turunannya agar dapat dioperasionalkan dan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang kerja layak PRT.

Kedelapan, pemerintah RI melakukan pendokumentasian, khususnya kasus-kasus femicida (pembunuhan perempuan karena dia perempuan) dalam berbagai konteks kekerasan, termasuk konteks kerentanan migran perempuan menjadi
korban femicida baik secara langsung maupun secara gradual. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA