Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Todung: Sjamsul Nursalim Melakukan Misinterpretasi Utang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 20 Juli 2018, 01:57 WIB
rmol news logo . Mantan Anggota Tim Bantuan Hukum (TBH) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Todung Mulya Lubis menegaskan TBH BPPN hanya menjalankan perintah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan audit kepatuhan terhadap obligor-obligor bermasalah.

Jelas dia, ada beberapa obligor bermasalah yang mereka audit, salah satunya adalah terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang juga pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Sjamsul bermasalah karena melakukan misinterpretasi utang PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) ke BPPN.

"Misinterpretasi ini (adalah) kewajiban yang seharusnya dipenuhi oleh pihak obligor-obligor, ternyata belum dipenuhi," kata Todung saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis (19/7).

Perlu dipahami, Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang harus dibayarkan Sjamsul adalah sebesar Rp28,4 triliun. Rp18,8 triliun diantaranya dibayar menggunakan aset BDNI. Nah, dari situ, Rp4,8 triliun aset BDNI yang disita adalah berupa piutang petambak plasma kepada PT DCD dan PT Wachyuni Mandira.

Namun sayang utang itu malah masuk dalam kategori kredit macet. Makanya, selain misinterpretasi tidak memenuhi kewajibannya sebagai obligor, Todung juga menduga Sjamsul sengaja melakukan misinterpretasi atas nilai utang petambak tersebut.

"Ada kewajiban utang yang tidak disampaikan. Jadi ada kredit macet yang mempengaruhi jumlah total kerugian negara akibat masih macet," ujar  Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI di Norwegia dan Islandia.

Todung menekankan sebetulnya kasus ini hanyalah bagian dari beberapa temuan mereka. Makanya, pihaknya pun sudah memberikan rekomendasi kepada KKSK untuk melakukan upaya hukum.

"Baik itu melalui gugatan di Pengadilan Negeri, baik itu gugatan pailit maupun laporan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan maupun kalau dianggap perlu, kepada PUPN. Jadi ini rekomendasi kita pada pihak KKSK pada waktu itu," jelasnya.

Dipertegas soal rekomendasi yang mereka berikan digunakan atau tidak, Todung mengatakan hal itu bukanlah kewenangan mereka selalu TBH BPPN. Ditekankan tugas mereka hanyalah melakukan uji kepatuhan, dan memberikan pendapat hukum. Setelah itu, pihaknya sudah tidak terlibat lagi.

"Itu kan prosesnya lama ya. Kita kan mengeluarkan pendapat hukum dan pelaporan uji kepatuhan itu tahun 2002. Setelah itu masih ada beberapa tahun prosesnya ya. Dan saya tidak terlibat lagi," urai Todung.

Diketahui, Syafruddin Arsjad Temenggung yang diangkat sebagai Kepala BPPN pada 22 April 2002 pun menyelenggarakan rapat dengan Itjih S. Sjamsul. Anehnya, sebagai pimpinan rapat antara BPPN dengan Itjih yang berlangsung pada 21 Oktober 2003 itu, Syafruddin malah menyimpulkan kalau utang petambak bukanlah kredit macet sebagaimana rekomendasi TBH BPPN.

Berdasarkan keputusan Syafrudin, BPPN lalu melakukan restrukturisasi utang petambak menjadi hanya senilai Rp 3,9 triliun. Rinciannya adalah Rp 2,8 triliun kredit macet dan Rp 1,1 triliun sebagai hutang yang bisa ditagih.

Lebih lanjut Syafruddin kemudian mengusulkan kepada rapat kabinet terbatas (Ratas) yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada 11 Februari 2004 untuk melakukan penghapusbukuan terhadap hutang Rp 2,8 triliun kredit macet tersebut. Meski demikian, ratas itu sama sekali tidak mengeluarkan kesimpulan. Makanya Syafrudin didakwa sengaja membuat seolah-olah rapat menyetujui usulan tersebut.

BPPN dan KKSK kemudian menggelar rapat membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Pada 17 Maret 2004. Tapi dalam rapat itu, Syafruddin tidak memberikan laporan yang terperinci menyangkut langkah yang diambil untuk menyelamatkan PT Dipasena Citra Dermadja. Konkretnya, alih-alih melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misinterpretasi, Syafruddin juga tidak melaporkan misinterpretasi itu.

Diduga karena tak mendapatkan laporan yang terperinci, KKSK pun menyetujui pemberian bukti penyelesaian kewajiban kepada Sjamsul. Akhirnya, Syafrudin dan Itjih S. Nursalim lalu menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang menyatakan pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) pada 12 April 2004.

Utang petambak sebesar Rp 1,1 triliun yang dinilai sebagai hutang bisa ditagih lalu dibeli oleh Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand hanya sebesar Rp 220 miliar.

Terkait itu, Syafruddin Arsjad Temenggung lalu didakwa merugikan negara sekira Rp 4,58 triliun karena diduga telah menerbitkan SKL BLBI untuk obligor BDNI. Penerbitan SKL BLBI tersebut dianggap telah memperkaya pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim sebagai pemilik aset PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandiri.

Selaku Kepala BPPN, Syafruddin diduga telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak. Syafruddin didakwa karena diduga telah melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA